Sabtu, 09 November 2013

Hijab-Ku

‘kita PUTUS,’kata Dido. Aku pun terperanjat sedih mendengar keputusannya saat itu. Ku lemparkan HPku ke tempat tidurku dan kurebahkan tubuhku perlahan ditempat tidurku. Air mataku menetes,beberapa teman mengirim  pesan singkat di HPku dan mencoba untuk menenangkanku. Semua pesan ku baca begitu saja,aku tak begitu  menghiraukan apa pesan mereka yang aku tau saat ini bahwa aku benci dengannya. BENCI.
 Tak bisa dihindarkan pertikaian demi pertikaian selalu terjadi diantara kami dan aku pun tak mengerti mengapa ini benar- benar harus terjadi,kebencian ini nyata.
Namun,berakhirnya hubungan kami ini membawa aku pada kehidupan yang baru. Dimana ketika itu aku aktif di organisasi Rohis disekolahku,malahan aku mendapat amanah menjadi dewan penasihat untuk adik-adik kelasku. Aku sedikit bangga meskipun aku dulunya tidak aktif disana,namun aku masih mendapat kepercayaan dari mereka. Alhamdulillah.
Sedikit demi sedikit penampilanku berubah,aku yang dulunya jarang memakai jilbab diluar sekolah kini aku memakainya. Aku yang dulunya berpakaian serba ketat kini sudah mulai ku pakai yang sedikit longgar.Tidak hanya itu,aku juga rajin membeli buku-buku fiqh,ini untuk bekalku dalam memberikan nasihat-nasihat pada adik-adikku. Dan kali ini Rohis dari sekolah kami mendaftarkan diri dalam Jambore Pelajar Muslim di Muaro Jambi.,yang berangkat dari pihak ikhwan cukup banyak namun dari pihak akhwat tidak seberapa dan salah satu pesertanya adalah aku.
*
Sampai dilokasi,aku tak menyangka akan mendirikan tenda ditengah-tengah hutan seperti ini. Sepi,tak ada siapa-siapa selain kami,tak ada warung terdekat untuk sekedar membeli cemilan. Kulihat disekelilingku ,ternyata barulah kami yang sampai dilokas, sedangkan peserta lainnya masih diperjalanan. Saat itu aku terbaring disebuah pendopo bersama adik-adik kelas dan seorang temanku,aku tak sadar tertidur cukup pulas disana. Aku terbangun ketika ada yang mengucap salam ke arahku,
‘Assalamualaikum,’ kata Kak Sumarni.
‘Wa alaikumsalam,’jawabku sambil bangkit untuk duduk.
Kami berbincang-bincang dipendopo hingga sore menjelang sambil melihat adik-adik dan temanku mendirikan tenda,namun pada akhirnya ku tinggalkan Kak Sumarni sendirian dipendopo,ku bantu adik-adikku dan temanku untuk mendirikan tenda yang nantinya akan menjadi rumah sederhana kami dalam beberapa hari.
Malamnya kami sholat berjamaah setelah itu membaca al-ma’surat dan dilanjutkan dengan acara-acara selanjutnya. Aku bagaikan tinggal dipesantren yang selama ini aku mimpi-mimpikan ditambah lagi kami wajib menggunakan bahasa arab pasif dan aktif selama berada disana. Sayangnya kemampuan bahasa arabku tidak seperti mereka,disanalah keirian demi keirian hatiku muncul. Bukankah itu bahasa kesehariannya orang-orang Muslim dan Muslimah namun mengapa aku tak bisa?
‘ukhti,aku benar-benar iri kepada kalian,aku iri pada keshalihan kalian,ketaatan kalian,akhlak kalian,pengetahuan kalian,dan aku iri dengan kecantikan kalian yang kalian pancarkan melalui jilbab kalian yang syar’i. Ukhti,satu janjiku pada kalian,sepulang dari sini aku akan mencoba seperti kalian. Aku  ingin ikut kalian berdakwah dijalan Allah.’janjiku dalam hati. Belum sempat aku ingin melangkah pergi dari tempatku,aku mendapat kabar bahwa ditahun ini aku menjadi juara umum kembali,subhanallah,begitu indah cara Allah membahagiakan hamba-Nya.
*
Sepulang dari Jambore sedikit demi sedikit ikhtiarku pun ku jalani,aku memakai rok,baju yang longgar dan jilbab yang menutupi dada tak lupa kaos kaki dan manset,penampilan ini dulunya aku anggap penampilan seorang teroris.Meskipun aku tidak mendapat dukungan dari pihak keluargaku maupun teman-temanku ,malahan aku mendapat ledekan demi ledekan disetiap harinya. Pernah ayahku berkata,
‘Yaya bagaikan seorang teroris kalau berpenampilan seperti itu.
’Dengan tersenyum aku menjawab,’Pak,Yaya sayang sama Bapak dan Mamak. Mungkin sekarang belum terbukti,tapi insya allah nanti di akhirat Yaya akan buktikan kalau Yaya menjaga orang tua Yaya dari jilatan api-api neraka.’ Setelah berkata demikian aku pun pergi kekamar dan menangis sejadi-jadinya.Padahal ayahku cukup paham dengan agama,namun mengapa perubahan ini malah menjadi tanda tanya besar baginya.
 Namun Allah yang Mulia selalu bisa memberikan kebahagian kepada hamba-Nya,dengan izin Allah aku bisa lulus dari seleksi masuk perguruan tinggi negeri disalah satu PT negeri favorit diprovinsiku,tidak hanya disana aku juga lulus di sebuah Institut Agama. Dan aku lebih memilih ke Institut Agama tersebut karena inilah janjiku.
*
Kini aku disemester dua tadris matematika,dan kebahagiaan itu muncul lagi. Allah memberikan nikmat-Nya lagi kepadaku,tanpa aku sadari ketika kubuka lagi diaryku semasa SMA. Apa yang terjadi?aku hanya bisa menganga dan mengucap subhanallah karena apa yang menjadi targetku untuk 2012 kini semuanya telah ku capai,subhanallah. Bertambah cintalah aku pada-Mu ya Allah,dan bertambah yakinlah aku dengan jilbabku. Semoga Allah selalu memberikann hidayah-Nya untukku dan untuk kita semua.Aamiin.

Jumat, 21 Juni 2013

Sejarah dan Perkembangan Hadist Pra Kodifikasi

Sejarah adalah ilmu yang digunakan untuk mempelajari peristiwa penting masa lalu manusia. Pengetahuan sejarah meliputi pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara berpikir secara histories.
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW. Hadits merupakan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas.
Secara struktural maupun fungsional Hadis telah disepakati oleh mayoritas kaum Muslimin dari berbagai mazhab Islam, sebagai sumber ajaran dan pedoman hidup yang menduduki posisi kedua setelah al-Qur'an. Hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis yang ada telah melalui proses penelitian ilmiah yang rumit dan mendapat perhatian yang khusus sejak dari masa pra kodifikasi sampai dengan saat ini sehingga menghasilkan kualitas Hadis yang diinginkan oleh para penghimpunnya. 
Keberadaan hadist sebagai salah satu sumber hukum dalam islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-14.
Perkembangan hadist pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadist. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash Al-Qur’an dengan hadist. Selain itu juga disebabkan fokus Nabi pada para Sahabat yang bisa menulis untuk menulis Al-Qur’an. Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa tabi’in besar. Bahkan dengan Khalifah yang lain. Periodesasi penulisan dan pembukuan hadist secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd Aziz (abad 2 H).
Terlepas dari naik turunnya perkembangan hadist, tak dapat dinafikan bahwa sejarah
perkembangan hadist memberikan pengaruh besar dalam sejarah peradaban islam. 
1)Hadist pada Masa Rasulullah SAW
Membicarakan hadist pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadist pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadist.
Rasul membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan:
Cara Rasul Menyampaikan Hadist
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat islam dapat secara langsung memperoleh hadist dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadist. Dimana tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat pertemuan diantaranya adalah masjid, rumah beliau sendiri, pasar ketiks beliau dalam perjalanan (safar), dan ketika beliau mukim (berada dirumah).
Dalam riwayat Imam Bukhori, disebutkan Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW, menyampaikan hadistnya dengan berbagai cara, sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya, dan tidak mengalami kejenuhan. Cara tersebut diantaranya adalah :
Pertama, melalui para jama’ah yang berada di pusat pembinaan atau majelis al-ilmi.
Kedua, dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW juga menyampaikan hadistnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.
Ketiga, melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan Futuh Makkah.
Untuk hal-hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, beliau menyampaikan melalui istri-istrinya. Begitu pula para sahabat, jika mereka segan bertanya kepada Nabi, mereka sering kali bertanya kepada istri-istri beliau.
Keadaan para sahabat dalam meneriam dan menguasai hadist
Dalam perolehan dan penguasaan hadist, antara satu sahabat dengan sahabat yang lain tidaklah sama, ada yang memiliki banyak, ada yang sedang bahkan ada pula yang sedikit. Hal ini disebabkan karena:
  • Perbedaan mereka dalam hal kesempatan bersama Rasulullah SAW.
  • Perbedaan dalam soal hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.
  • Perbedaan dalam hal waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari Majlis Rasul SAW.
  • Perbedaan dalam ketrampilan menulis, untuk menulis hadist.
Ada beberapa sahabat yang tercatat banyak menerima hadist dari Nabi SAW mereka adalah:
  • Para sahabat yang termasuk As-Sabiqun Al- Awwalun, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, ustman bin Affan, Ali bin Abi Tahlib.
  • Ummahat Al-Mu’minin (istri-istri rasul) seperti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadist yang diterimanya banyak berkaitan dengan soal pribadi, keluarga, dan tatat pergaulan suami istri.
  • Para sahabat yang disamping dekat dengan Rasul juga menuliskan hadist yang diterimanya, seperti Abdullah Amr bin Ash.
  • Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah tetapi sangat efisian dalam memanfaatkan kesempatan dan bersungguh-sungguh bertanya kepada sahabat lain, seperti Abu Hurairah.
  • Sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti Majlis Rasul dan banyak bertanya kepada sahabat lain seperti, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas.
Pemeliharaan Hadist dalam Hafalan dan Tulisan.
1. Aktifitas menghafal hadist
Untuk memelihara kemurnian al-Qur’an dan Hadist, Rasulullah mengambil kebijakan terhadap Al-Qur’an beliau memberi instruksi untuk menulisnya selain menghafalkan. Sedang terhadap hadist beliau secara resmi memerintahkan unutk menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain.
Dengan demikian, para sahabat bersungguh-sungguh untuk menghafal hadist agar tidak terjadi kekeliruaan dengan Al-Qur’an. Ada alasan yang cukup memberi motivasi kepada para Sahabat, diantaranya adalah:
  1. Kegiatan menghafal merupakan budaya Arab yang telah ada sejak zaman praIslam.
  2. Mereka terkenal kuat hafalan jika dibanding bangsa-bangsa lain.
  3. Rasulullah banyak memberi spirit melalui doa-doanya agar mereka diberikan kekuatan hafalan dan dapat mencapai derajat yang tinggi.
  4. Dan Rasul sering kali menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafalkan hadist dan menyampaikan kepada orang lain.
Aktifitas menulis hadist
Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi SAW dengan sabdanya:

لاتكقبو اعنّى سيئا غير القران فمن كتب عنّى سيئا غير القر ان فليمحه.

” jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (Hr. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry)
Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, yaitu sabda Nabi SAW:

اكتب عنّى فو الذى نفس بيده ما خرج من فمن الاالحق.

” tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaanNYA, tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak”.

Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:
  1. Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Qur’an, maka hukum larangan menulisnya telh dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
  2. Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullauh bin Amr bin Ash.
  3. Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tiak kaut hafalannya.
  4. 2) Hadist Pada Masa Sahabat Dan Tabi’in
    A.Hadist pada masa sahabat
    Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar.
    Sahabat dan Periwayatan Hadist
  • Menjaga Pesan Rasul SAW
Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya :

تركت فيكم أمر يى لن تملّوا ما تمسّكم بهما كتاب الله وسنة نبيّه

”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadist) ” H.R Malik
Pesan-pesan Rasul Saw sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkan.
  • Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadist.
Perhatian sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan Al-Qur’an, ini terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar Ibn Khattab, usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman Ibn Affan, sehingga melahirkan mushaf Usmani satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-Imam dan yang empat lagi maisng-masing disimpan di Makkah, Basrah, Syiria dan Kuffah.
Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab, seperti halnya Al-Qur’an. Hal ini (umat islam) dalam mempelajari Al-Qur’an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar diberbagai daerah kekuasaaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadist dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat, belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
  • Periwayatan Hadist dengan Lafadz dan Makna.
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadist, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sifat kehati-hatianny, tidak berarti hadist-hadist Rasul tidak diriwayatkan. Dalam batasan-batasan tertentu hadist-hadist itu diriwayatkan. Khususnya permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadist tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul SAW:
Pertama, periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul). Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadist dengan jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW, seperti sahabat Ibnu Umar.
Kedua, periwayatan maknawi (maknanya saja). Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadist yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan.
Abu Bakar
Untuk menghindari kebohongan itu, misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang nenek datang padanya mengatakan ”saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh para anak laki-laki saya” kata Abu Bakar ” saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari Al-Qur’an maupun dari rasul” maka tampillah Muhammad Bin Maslamah sebagai saksi bahwa seoarang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian (1/6) harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya.
Kesimpulannya, benar bahwa Abu Bakar amat ketat dalam periwayatan hadist. Akan tetapi tidak perlu disalah pahami bahwa beliau tidak anti terhadap penulisan hadist. Bahkan, untuk kepentingan tertentu hadist nabi ditulisnya.
Umar bin Khattab
Ibn Qutaibah berkata, sebagai dikutip Ajjaj al_Khatib mengatakan Umar bin Al-Khatab adalah orang yang sangat keras menentang orang-orang yang menghambarkan riwayat hadist, atau orang yang membawa hadist (khabar) mengenai hukum tertentu tetapi tidak diperkuat dengan seorang saksi. Umar bin Khatab tidak senang dengan terhadap orang yang memperbanyak periwayatan hadist dengan terlalu mudah dan sembrono. Tentu agar kemurnian hadist nabi dapat terpelihara. Ini tidak berarti bahwa beliau anti periwayatan hadist, Umar r.A mengutus para ulama’ mengajarkan islam dan sunnah nabi pada penduduk negeri.
Sikap kehati-hatian kedua sahabat tersebut, juga diikuti oleh Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadist sebelum yang meriwayatkan itu disumpah. Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab halnya Al-Qur’an, hal ini disebabkan karena:
  1. Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
  2. Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.
  3. Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
B. Hadist pada masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat sebagai para guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa khulafa’ Al-Rasyidin kebeberapa wilayah kekuasaan islam, kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadist.
Ketika pemerintahan dipegang Bani Umayyah, wilayah kekuasaan islam sudah meliputi Makkah, Madinah, Bashrah, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand, dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasaan kekuasaan Islam tersebut, penyebaran sahabat ke daerah-daerah juga meningkat. Oleh sebab itu, masa itu dikenal masa penyebaran periwayatan hadist.
Hadist-hadist yang diterima para tabi’in ini, seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadist pun yang tercecer atau terlupakan.
Pada masa tabi’in ini muncul atau terjadi sejak masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin yaitu tatkala kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok, yaitu Khawarij, Syiah, Muawiyah dan golongan minoritas yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok tersebut.Dari persoalan politik diatas langsung atau tidak langsung cukup memberikan pengaruh, baik positif maupun negatif terhadap perkembangan hadist berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok menjatuhkan posisi lawan-lawannya. Adapun pengaruh yang berakibat positif adalah hadist sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.
Sejarah hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah memahaminya, berikut uraiannya.
I. Hadist pada masa Rasul SAW
Dalam masa ini ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan masa itu:
  • Cara rasul menyampaikan hadist, melalui jamaah pada majlis-majlis, ceramah dan pidato di tempat-tempat terbuka, dan lain-lain.
  • Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist, sesuai dengan kapasitas masing-masing sahabat.
  • Pemeliharaan hadist melalui hafalan dan tulisan.
II. Hadist pada masa sahabat
Kehati-hatian para sahabat dalam hal pembukuan hadist dan pada masa itu belum ada pembukuan secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah :
  1. Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
  2. Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.
  3. Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.
III. Hadist pada masa tabi’in
Pada masa ini juga terjadi kegiatan menghafal dan menulis hadist, dan ada bebrapa hal yang begitu berpengaruh dalam hal perkembangan hadist, diantara pengaruh positif yang ada adalah hadist sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan
pemalsuan.
No
Periode
Perkembangan
Karakteristik Penulisan
Model Buku
1.
Masa Nabi Muhammad
Larangan penulisan(Nahyu Al-Kitabah)
Hadis dihapal diluar kepala
Catatan pribadi bentuk Shahifah (lembaran)
2.
Masa Sahabat
Penyederhanaan periwayatan (Taqlil Ar-Riwayah) pada masa Khulafaur Rasyidin dan masa Perlawatan Hadis(Rihlah ‘Ilmiyah) masa setelahnya
Disertai sumpah dan masa Khulafaur Rasyidin dan disertai Sanad pada masa setelahnya
Catatan pribadi bentuk Shahifah (lembaran)
3.
Masa Tabi’in
Penghimpunan hadis (Al-Jam’u wa Al-Tadwin)
Bercampur antara hadis Nabi dan fatwa sahabat dan aqwal sahabat
Shahifah,
Mushannaf,
Muwaththa,
Musnad,dan
Jami’

                                                       








ILMU PENDIDIKAN


Peran Pendidikan dalam membangun Bangsa 

Tidak ada kegiatan bangsa yang lepas dari peran pendidikan. Bahkan dalam banyak hal peran pendidikan sangat menentukan untuk dapat melakukan kegiatan yang bermutu. Sebab itu setiap bangsa menjadikan pendidikan kegiatan utama dalam mengusahakan kemajuannya. Dengan mengusahakan kemajuan sekali gus dibangun kekuatan bangsa itu.
Sebab utama mengapa pendidikan berpengaruh terhadap setiap kegiatan bangsa adalah karena faktor manusia. Hampir tidak ada kegiatan bangsa yang tidak memerlukan peran manusia. Bahkan peran manusia sangat menentukan dalam pelaksanaan berbagai kegiatan itu, juga ketika terjadi kemajuan teknologi yang amat pesat. Dalam kemajuan teknologi itu banyak pekerjaan manusia dapat digantikan oleh peran mesin atau robot. Meskipun demikian, juga penggunaan mesin dan robot itu banyak ditentukan peran manusia. Malahan diperlukan peran manusia yang makin cerdas dan arif bijaksana. Faktor manusia juga amat penting bagi bangsa dalam memperkuat kondisi mentalnya. Meskipun ada yang berpendapat bahwa Nation State atau Negara-Bangsa berakhir eksistensinya dalam masa globalisasi sekarang ini, dalam kenyataan tetap Negara-Bangsa menjadi aktor utama dalam arena dunia. Untuk itu peran nasionalisme tetap penting yang amat tergantung dari sikap warga bangsa itu. Melalui pendidikan pula dapat dan harus ditumbuhkan kondisi mental para warga bangsa itu, khususnya semangat nasionalisme yang kuat. Namun pembangunan manusia tidak hanya untuk kepentingan bangsa. Pembangunan manusia juga dan terutama untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Perjuangan kita sejak permulaan abad ke 20 dan sebelumnya adalah untuk menjadikan Manusia Indonesia mahluk yang bermartabat dan tidak kalah dari manusia lainnya, terutama dari bangsa-bangsa yang sudah maju. Kita ingin agar Manusia Indonesia cerdas, mempunyai perasaan yang halus dan peka, sehingga dapat menghasilkan kehidupan yang bermakna. Malahan kita ingin Manusia Indonesia lebih dari itu, kalau kita perhatikan kelemahan-kelemahan yang masih ada pada bangsa kita.
Salah satu kelemahan Manusia Indonesia adalah kecenderungan menjadi manja karena hidup dalam Alam yang serba murah dan mudah. Akibatnya adalah bahwa berbagai potensi positif yang dimiliki Manusia dan Alam Indonesia tidak dapat berkembang secara wajar untuk kepentingan Indonesia sendiri. Kelemahan ini cenderung membuat kondisi mental yang kurang kuat, mudah menyerah dan mencari jalan termudah yang belum tentu memberikan penyelesaian terbaik. Energi yang kurang dapat dikembangkan Manusia Indonesia yang manja itu juga berakibat kurang kuatnya karakter. Antara lain itu menonjol dalam kenyataan bahwa Manusia Indonesia pandai membuat teori dan konsep, tetapi kurang sekali dalam implementasi teori dan konsep itu karena kurang kuatnya komitmen. Juga lemahnya disiplin adalah akibat kelemahan ini, disertai kurang ada niat untuk menghasilkan yang terbaik dalam berbagai perbuatan. Tidak jarang pekerjaan dilakukan dengan “asal jadi”. Juga nampak sekali sekarang betapa rendahnya semangat nasionalisme di banyak kalangan di Indonesia, jauh lebih rendah dari semangat nasionalisme di Vietnam, Thailand dan Singapura. Kelemahan yang amat mendasar ini harus dapat kita atasi dan perbaiki kalau kita ingin Indonesia menjadi negara dan bangsa yang selamat, maju dan sejahtera.
Untuk mewujudkan Manusia Indonesia yang kuat menghadapi Alam yang mudah dan murah diperlukan pendidikan. Dengan pendidikan kita transfer dan tumbuhkan pada Manusia Indonesia nilai-nilai, kecerdasan dan kecakapan, serta sikap mental yang ulet dan tangguh tetapi juga perasaan yang halus.
Karena faktor manusia demikian penting dalam kehidupan bangsa, maka pendidikan menjadi amat menentukan perannya. Sebab partisipasi yang dilakukan manusia harus bermutu agar memberikan hasil semaksimal mungkin.. Maka agar partisipasi manusia benar-benar bermutu, ia harus memperoleh pendidikan yang diperlukan.
Sudah lampau masanya bahwa manusia secara alamiah dapat tumbuh menjadi manusia bermartabat, manusia yang melakukan pekerjaan dalam masyarakat secara efektif. Manusia harus dibantu untuk memahami dan meraih berbagai nilai kehidupan yang menjadikannya bermartabat. Selain itu ia harus disiapkan untuk melakukan berbagai pekerjaan yang dihadapi.
Pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan untuk menyampaikan kepada orang atau pihak lain segala hal untuk menjadikannya mampu berkembang menjadi manusia yang lebih baik, lebih bermutu, dan dapat berperan lebih baik pula dalam kehidupan lingkungannya dan masyarakatnya. Hal yang disampaikan itu meliputi sistem nilai, pengetahuan, pandangan, kecakapan dan pengalaman. Makin baik penyampaian itu, makin besar kemungkinan manusia menjadi bermartabat. Dan makin baik perannya dalam kehidupan lingkungan dan masyarakatnya. Itu juga menjadi persiapan yang baik untuk menghadapi pekerjaan dan kehidupan, menjadikan manusia makin mampu melakukan pekerjaannya.
Penyampaian itulah yang dilakukan pendidikan, baik secara mental, intelektual maupun fisik. Dapat dikatakan bahwa pendidikan itu harus selalu bermutu karena pendidikan yang tidak bermutu tidak ada manfaatnya sama sekali. . Bahkan pendidikan yang tidak bermutu dapat berakibat sebaliknya dengan menghasilkan manusia asosial, manusia yang menjadi ancaman bagi kehidupan. Pendidikan yang tidak bermutu juga tidak dapat menyiapkan manusia secara baik dan benar untuk melakukan pekerjaannya. Ini berarti bahwa pendidikan yang tidak bermutu bukanlah pendidikan. Hal ini seringkali kurang diperhatikan orang-orang yang menjalankan fungsi pendidikan.
Agar dapat menjalankan sesuatu dengan baik, manusia dipengaruhi oleh faktor mentalnya, faktor inteleknya dan faktor fisiknya. Sebab itu pendidikan harus selalu mengandung aspek mental, aspek intelektual dan aspek fisik yang diusahakan dalam harmoni satu sama lainnya.
Pada dasarnya pendidikan dilakukan di lingkungan keluarga, dalam masyarakat dan melalui sistem sekolah. Karena setiap manusia bermula kehidupannya dengan dilahirkan ibunya dalam lingkungan keluarganya, maka dapat dikatakan bahwa Pendidikan di Lingkungan Keluarga menjadi landasan segenap usaha pendidikan sepanjang hidup manusia. Celakalah satu bangsa yang tidak dapat menjaga kehidupan keluarga yang teratur.
Pendidikan di Lingkungan Keluarga sebagai landasan kehidupan bangsa.
Pendidikan sudah harus dimulai sejak bayi masih dalam kandungan. Berbagai usaha dilakukan agar dapat dikomunikasikan kepada si calon bayi hal-hal yang menjadikannya nanti manusia yang baik dan bermutu. Dalam kebudayaan lokal di Indonesia, seperti di Jawa, ada tradisi berupa macam-macam upacara untuk melakukan komunikasi itu.
Setelah lahir bayi perlu diurus dengan sebaik-baiknya agar tetap hidup. Pemberian air susu ibu atau ASI merupakan hal yang penting dan diakui manfaatnya oleh ilmu pengetahuan. Selain ASI penting dilihat dari sudut makanan dan fisik bayi, pemberian ASI juga ada hubungannya dengan faktor mental, seperti penanaman disiplin pada bayi. Seperti memberikan ASI pada waktu tertentu dan tidak sembarang waktu, umpama saja untuk menghentikan bayi menangis. Dengan tumbuhnya kebiasaan tentang waktu menerima ASI dan tidak pada waktu lain pada bayi terwujud kebiasaan mengikuti aturan orang lain. Demikian pula keteraturan waktu dan cara mandi menimbulkan pada bayi dasar untuk hidup teratur nanti.
Makin tumbuh besar bayi itu makin banyak hal yang dapat dilakukan untuk penyampaian nilai kehidupan. Juga makin banyak hal dijadikan pengetahuan bayi agar daya pikirnya makin aktif. Yang amat penting adalah cinta kasih ibu karena hal itu menimbulkan rasa aman bagi bayi yang kemudian dapat menjadi rasa percaya diri yang wajar. Akan tetapi tidak boleh ada tindakan yang bernada memanjakan. Tidak ada hal yang lebih merusak masa depan anak dari pada pemanjaan. Sebaliknya bayi “ditantang” melakukan hal-hal baru, seperti berani naik tangga ketika sudah dapat berjalan dan tidak digotong ibu. Diberikan kesempatan untuk banyak bermain, sebaiknya bersama-sama anak yang sebaya. Sebab itu adalah baik sekali kalau pada umur 3 tahun anak sudah masuk dalam kelompok main (play group) agar mulai membiasakan diri bergaul dengan anak lain. Dalam permainan diberikan kebebasan melakukan banyak hal, termasuk mencoret-coret gambar untuk menyatakan perasaannya. Di rumah disiplin dipelihara terus, sehingga anak menyadari bahwa kasih sayang tidak berarti membolehkan segala kemauan anak. Anak mulai tahu bahwa ia bebas berbuat tetapi selalu dalam batas tidak mengganggu ketertiban keluarga dan tidak merugikan pihak lain. Dengan begitu sudah mulai kecil dibangun kekuatan mentalnya. Anak dibiasakan untuk selalu mengusahakan yang terbaik.
Makin besar anak, makin banyak pengetahuan disampaikan kepadanya dan makin banyak kemampuan ditumbuhkan. Bersama itu anak diberi tanggungjawab yang harus dilaksanakannya. Seperti membereskan tempat tidur sendiri, turut mengatur dan membersihkan rumah, membantu dalam asah-asah piring sehabis makan, dan lainnya. Anak harus memperoleh kesadaran bahwa ia mempunyai tempat dan fungsi dalam rumah tangga yang harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya sebelum ia bermain-main di luar rumah. Namun segala tanggungjawab itu harus disertai kegembiraan sehingga tidak dirasakan sebagai beban yang memberatkan hidupnya. Juga mulai ditumbuhkan rasa cinta Tanah Airnya melalui cerita, wejangan orang tua dan ajakan wisata untuk mengenal Tanah Airnya lebih baik.
Kebiasaan memperoleh kasih sayang ibu dan bapak membuat anak juga sanggup memberikan kasih sayang kepada orang lain, baik kepada saudara-saudaranya sendiri maupun kepada orang lain di luar keluarganya.
Dalam pada itu anak sudah mulai mengikuti pendidikan sekolah, dimulai dengan Taman Kanak-Kanak, kemudian ke SD dan SMP. Bersamaan dengan itu pengetahuannya makin bertambah dan timbul dorongan untuk tahu lebih banyak menjadi makin kuat. Sebab itu di rumah anak dilayani dengan semestinya kalau mengajukan pertanyaan. Anak bahkan didorong agar belajar yang baik di sekolah dan kalau perlu dibantu ketika menghadapi pelajaran sekolah yang dianggap sukar oleh anak. Anak didorong untuk berbuat paling baik, berprestasi dalam apa pun yang dikerjakan. Juga makin disadarkan kebangsaannya melalui ulasan mengenai keadaan bangsa dan kelilingnya. Sebaliknya, kalau menunjukkan sikap malas dan ogah-ogahan perlu dicari sebabnya mengapa demikian. Dengan begitu anak diusahakan menjadi orang yang dinamis tapi stabil pikiran dan perasaannya. Ketika mulai timbul perasaan asmara di masa pubertasnya, hal itu tidak dilarang. Melainkan ia diberi pedoman bagaimana menyalurkan perasaan itu dalam sikap dan perbuatan yang tidak merugikan dirinya. Dalam hal ini hubungan yang erat dengan ibu adalah amat penting.
Ketika sudah pada usia 16 tahun anak makin dipengaruhi untuk mengembangkan vitalitasnya dan menunjukkan prestasi dalam hal atau bidang yang ia sukai. Tauladan orang tua untuk anak adalah penting sejak anak kecil, tetapi terlebih penting ketika anak itu berumur 13-16 tahun dan makin kritis serta mampu membandingkan. Penyaluran emosi yang makin kuat perlu mendapat pedoman yang dikomunikasikan dengan baik sehingga dimengerti dan diterima anak. Kalau tidak, maka ia akan memberontak . Dialog antara anggota keluarga makin diperlukan. Ganjaran (reward) terhadap perbuatan yang menonjol dan unggul harus diberikan agar menstimulasi perkembangan lebih tinggi. Faktor patriotisme harus semakin menonjol dalam memotivasi dan mendorong perbuatan yang berprestasi.
Ketika menginjak umur dewasa di atas 18 tahun pendidikan dalam keluarga pada dasarnya telah berakhir. Anak telah menjadi manusia dewasa. Makin banyak pendidikan diperolehnya dari luar keluarga, baik dalam masyarakat maupun di lembaga pendidikan. Meskipun begitu harus terus dipelihara hubungan orang tua dan anak yang dilandasi kasih sayang, tauladan yang tepat dan komunikasi yang lancar untuk mendiskusikan segala hal yang dirasakan perlu oleh anak. Namun sekarang orang tua menempatkan diri sebagai penasehat anak dan membiasakan anak mengambil keputusannya sendiri. Ia harus mulai sadar bahwa baik buruk kehidupannya adalah di tangannya sendiri, sedangkan orang lain termasuk orang tua adalah penasehat. Dengan begitu akan timbul rasa tanggungjawab yang kuat dalam menentukan segala sesuatu dan ada kemampuan mengambil keputusan yang makin cermat.
Tanggungjawab atas Pendidikan Keluarga
Pendidikan dalam Keluarga adalah tanggungjawab orang tua, dengan peran Ibu lebih banyak. Karena Ayah biasanya pergi bekerja dan kurang ada di rumah, maka hubungan Ibu dan anak lebih menonjol. Meskipun begitu peran Ayah juga amat penting, terutama sebagai tauladan dan pemberi pedoman, terutama soal cinta Tanah Air dan patriotisme. Kalau anak sudah mendekat dewasa peran Ayah sebagai penasehat juga amat penting, karena dapat memberikan aspek berbeda dari yang diberikan Ibu. Oleh karena hubungan Ayah dan anak relatif terbatas waktunya, terutama di hari kerja, maka Ayah harus mengusahakan agar pada hari libur memberikan waktu lebih banyak untuk berhubungan dengan anak.
Makin banyaknya jumlah Ibu-bekerja (working mother) menimbulkan persoalan tidak sedikit bagi pendidikan anak. Sebaliknya, kalau penghasilan keluarga tergantung pada penghasilan Ayah saja yang kurang memadai untuk kehidupan keluarga, juga akan timbul persoalan pendidikan yang tidak sedikit. Sebab itu gejala yang makin meluas tentang Ibu-bekerja tidak harus ditolak, tetapi dicari jalan agar tidak terjadi kekurangan yang fatal untuk pendidikan. Salah satu cara adalah kehadiran nenek di lingkungan keluarga. Juga penempatan anak dalam lembaga Penitipan Anak ketika anak itu masih kecil merupakan cara yang tidak salah, asalkan diketahui bahwa penyelenggaraannya dilakukan oleh orang-orang yang dapat dipercaya. Meskipun demikian, para Ibu-bekerja harus selalu mengusahakan waktu maksimal untuk dapat berhubungan dengan anaknya.
Ada pendapat berbeda tentang pendidikan dalam keluarga, yaitu tentang pemberian kebebasan kepada anak. Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya sejak permulaan diberikan kebebasan maksimal kepada anak. Dalam hal ini faktor pendidikan kepada anak sudah berakhir sebelum anak itu dewasa. Pendapat demikian terutama banyak ditemukan di Amerika Serikat yang kuat menganut prinsip liberalisme. Pendapat ini menganut sikap bahwa berbagai larangan dan pedoman kepada anak hanya menimbulkan keterbatasan pada anak untuk mengembangkan dirinya secara wajar. Dengan begitu potensi dan bakat anak tidak dapat berkembang menjadi kekuatan nyata.
Mungkin saja pendapat liberal ini baik untuk anak Amerika, tetapi dalam kebudayaan Timur dan khususnya Indonesia yang memandang kebersamaan sebagai sumber kebahagiaan, rupanya sikap liberal itu kurang cocok. Mungkin hanya cocok bagi keluarga yang begitu kebarat-baratan (westernized) sehingga sudah kehilangan akarnya pada kebudayaan bangsanya sendiri. Toh dalam kenyataan terbukti bahwa keluarga yang menerapkan pendidikan keluarga dapat menghasilkan pribadi-pribadi yang tidak kalah mutunya dalam kehidupan dari pribadi hasil pendidikan liberal. Hal itu cukup banyak dibuktikan oleh orang-orang Jepang yang bergulat dalam berbagai bidang dengan orang Amerika, termasuk dalam ilmu pengetahuan, bisnis, olahraga dan lainnya.
Pendidikan dalam Keluarga dapat memberikan pengaruh besar kepada karakter orang. Sebab itu kunci utama untuk menjadikan Manusia Indonesia tidak manja dan hidup energik terletak dalam pendidikan dalam keluarga. Kalau kita membaca pernyataan berbagai pemimpin besar dunia, maka banyak di antara mereka memberikan nilai penting kepada pendidikan dalam keluarga. Juga ada yang menyebutkan pengaruh kuat dari Kakek atau Nenek. Antara lain Bung Karno selalu mengagungkan pengaruh Ibu. Juga Ki Hadjar Dewantara mengemukakan pentingnya Pendidikan dalam Keluarga.
Dan karakter yang ditumbuhkan adalah faktor yang amat penting dalam kepribadian orang, karena banyak mempengaruhi prestasi dalam berbagai bidang. Baik itu bagi pemimpin masyarakat, olahragawan, kaum bisnis maupun para pendidik sendiri. Ilmu pengetahuan dan kemampuan teknik adalah penting bagi pencapaian keberhasilan, tetapi tidak akan mampu mencapai hasil maksimal kalau tidak disertai karakter. Kita melihat sekarang keadaan masyarakat Indonesia yang prestasinya tidak sebanding dengan kemampuan teknik dan penguasaan ilmu pengetahun. Hal itu terutama karena pada waktu ini faktor karakter kurang menjadi perhatian dalam penyelenggaraan pendidikan. Rendahnya patriotisme adalah gambaran lemahnya karakter bangsa. Ini semua harus menjadi salah satu hasil penting usaha pendidikan bangsa, baik dalam pendidikan dalam keluarga, pendidikan sekolah maupun pendidikan dalam masyarakat. Akan tetapi karena pendidikan pada anak paling dulu dilmulai dalam pendidikan dalam keluarga, maka pendidikan dalam keluarga yang seharusnya memberikan landasan yang kemudian diperkuat dan dilengkapi dalam pendidikan sekolah dan pendidikan dalam masyarakat.
Sudah amat perlu diadakan seruan, ajakan dan pemberian tauladan kepada para orang tua untuk memperhatikan pendidikan yang harus mereka lakukan dalam keluarga. Mungkin sekali banyak di antara para orang tua merasa kurang mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Maka sangat penting Pemerintah atau organisasi lain mengeluarkan Buku Pedoman yang dapat menjadi pegangan bagi para orang tua dalam melaksanakan pendidikan dalam keluarga. Akhirnya memang tergantung pada para orang tua sendiri apakah pedoman itu dilaksanakan atau tidak. Akan tetapi karena secara alamiah orang tua ingin anaknya baik dan sukses, maka besar kemungkinan mayoritas orang tua akan berusaha menerapkan pedoman itu dalam hidup mereka.
Pentingnya Kerja Sama Orang Tua dan Sekolah dalam Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
4 10 2009
PENTINGNYA KERJA SAMA ORANG TUA DAN SEKOLAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
OlehIlhamnorrahman, S.Pd.I.
1. Kewajiban Orang Tua Terhadap Pendidikan Agama Anak
Setiap anak pada hakikatnya dilahirkan dalam keadaan fitrah, dengan kata lain bahwa ia mempunyai modal dasar yang suci dalam dirinya. Untuk itu perlu diarahkan dan dikembangkan agar mencapai kesempurnaan akhlak dan budi pekertinya. Dalam hal ini Nabi bersabda :
كُلُّ مَوْلُدٍ يُوْلَدُ عَلى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَنِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخارى)
Dari hadits tersebut di atas dapat dipahami bahwa anak menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi atau bahkan tidak memiliki moral, semua tergantung dari orang tuanya, sebabnya ialah karena perkembangan fitrah manusia itu banyak tergantung kepada usaha pendidikan dalam bimbingan dan tanggung jawab orang tua. Maka apabila ada anak yang tidak mendapatkan kesempatan sebaik-baiknya yang mendukung perkembangan hidup keagamaannya, maka dia akan hidup menyimpang dari jalan Islam. Kemampuan dasar beragama yang sesuai dengan fitrah pada setiap individu tidak akan berkembang bilamana tidak mendapat bimbingan yang baik dan benar.
Jadi sangat jelas bahwa orang tua memiliki tanggung jawab yang besar dalam memberikan pendidikan agama bagi anak-anaknya. Sebab orang tualah yang memiliki kewajiban atas pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah dalam Surah At Tahrim ayat 6 :
يآيَّهَاالَّذِيْنَ امَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلئِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لَّايَعْصُوْنَ اللهَ مااَمَرَهُمْ وَيَفْعَلوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ.
Orang tua adalah orang pertama dan utama yang wajib bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pendidikan, terutama pendidikan agama anak-anaknya. Tanggung jawab pertama karena dalam keluarga inilah anak-anak pertama kali menyandarkan hidup dan membutuhkan sentuhan kasih sayang pertama, mendapatkan bimbingan, pengajaran dan pendidikan dari orang tuanya. Sebagai tanggung jawab terutama, karena sebagian besar kehidupan anak adalah di dalam keluarga, sehingga pendidikan dan bimbingan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dari kedua orang tuanya. M. Sobry Sutikno mengemukakan bahwa:
Memberikan pendidikan agama sedini mungkin menjadi faktor utama pembentukan karakter dan jiwa anak. Dengan agama akan tercapai keseimbangan lahir dan batin. Pendidikan agama harus di tanamkan sejak kanak-kanak dengan membiasakan anak bertingkah laku dan berakhlak sesuai ajaran agama. Pendidikan agama ini mempunyai dua aspek penting: Pendidikan agama bertujuan menumbuhkan jiwa atau pribadi yang syarat dengan muatan peraturan yang baik sesuai dengan ajaran agama, Pendidikan agama merupakan pemenuhan aspek kognitif dari anak.
Senada dengan hal tersebut, Emi Nur Hayati Ma’sum Sa’id juga mengemukakan bahwa:
Kedua orang tua harus memenuhi hak-hak anak dalam pendidikan agama. Agama dan akal menghukumi bahwa kedua orang tua bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya. Kedua orang tua harus berusaha mendidik anaknya berdasarkan program yang baik sehingga mereka tidak tersesat dan menjadi orang yang baik serta berguna bagi agamanya. Untuk sampai pada tujuan ini orang tua memiliki tugas berat yang ada di pundaknya. Langkah pertama yang harus dijalankan oleh kedua orang tua adalah menjaga kesehatan dan kebersihan jasmani anak-anak, kemudian baru mendidik mereka mengenai prinsip-prinsip moral dan akhlak. Kedua orang tua hendaknya mendidik anaknya sehingga mereka dalam segala perilakunya berasaskan ajaran agama dan keimanan kepada Allah yang Esa.
Kemudian Musleh Hery memberikan gambaran tentang peran pendidikan agama bagi kehidupan anak, sebagai berikut:
Pendidikan agama berkisar antara dua dimensi hidup, yaitu penanaman rasa takwa kepada Allah dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama. Penanaman rasa takwa kepada Allah sebagai dimensi hidup dimulai dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama yang berupa ibadah-ibadah. Sedangkan pelaksanaannya harus disertai dengan penghayatan yang sedalam-dalamnya akan makna ibadah-ibadah tersebut, sehingga ibadah-ibadah itu tidak dikerjakan semata-mata sebagai ritual belaka, melainkan dengan keinsafan mendalam akan fungsi edukatifnya.
Berdasarkan pendapat tersebut, bahwa pendidikan agama kepada anak pada dasarnya adalah penanaman rasa takwa kepada Allah SWT. Itu dilakukan melalui pembiasaan anak dalam melaksanakan ibadah dengan penghayatan dan kesadarannya. Semua itu tentunya tidak akan berjalan dengan sendirinya, jika orang tua tidak memiliki perhatian serius dalam memberikan pendidikan agama bagi anak-anaknya.
2. Peranan Sekolah Terhadap Pendidikan Agama Anak
Sekolah adalah pendidikan formal, secara teratur dan terencana melakukan pembinaan terhadap generasi muda. Oleh karena itu, peran sekolah juga sangat penting dalam melaksanakan pendidikan terhadap anak. Dalam hal ini Amir Daien Indrakusuma dalam buku Pengantar Ilmu Pendidikan mengatakan :
Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Oleh karena itu anak dikirimkan ke sekolah. Dengan demikian, sebenarnya pendidikan di sekolah adalah bagian dari pendidikan dalam keluarga yang sekaligus juga merupakan lanjutan dari pendidikan dalam keluarga, sehingga di sekolah adalah merupakan jembatan bagi anak, yang menghubungkan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat kelak.
Dalam hal pendidikan agama Islam peran sekolah juga penting, khususnya guru agama yang memberikan pendidikan agama kepada mereka. Secara umum guru agama berperan menumbuhkan mentalitas beragama pada anak didiknya, dan secara khusus memberikan pelajaran agama sesuai dengan bidang studi yang diajarkan.
Selain itu, guru agama juga perlu menjalin kerja sama dengan pihak orang tua murid, sehingga permasalahan yang mereka hadapi dapat diatasi secara bersama pula. Hal ini jauh lebih baik dari pada guru atau orang tua bekerja sendiri-sendiri dalam mendidik anak.
Kaitannya dengan pendidikan agama terhadap anak, fungsi guru antara lain :
a. Guru adalah sebagai pembantu orang tua dalam mendidik anaknya. Untuk itu guru harus tidak segan-segan berhubungan dengan orang tua/walinya, sebab diakui bahwa orang tuanyalah yang paling mengetahui keadaan hidup kejiwaan anak. Di samping itu juga orang tua dan keluarga pengaruhnya lebih besar pada anak dalam pertumbuhan psikis, karena kecuali anak lebih lama tinggal di dalamnya, juga dari segi psikologi mereka tertarik pada tingkah laku orang tua serta keluarganya.
b. Guru sebagaimana orang tua berkewajiban membantu perkembangan kodrat anak ke arah kemampuan hidup bermasyarakat, kemandirian dan bermoral tinggi.
c. Di samping itu guru juga sebagai seorang yang berilmu pengetahuan dan dengan pengetahuannya itu ia mengajar anak didik agar menjadi orang yang berilmu. Khusus bagi guru-guru agama, di samping ia harus menguasai ilmu agama juga perlu memiliki ilmu pengetahuan umum.
Agar anak didik sadar dan taat beragama, tentu peranan guru agama sangat penting. Karena dalam kegiatan belajar mengajar agama yang dilakukannya banyak pengaruhnya terhadap anak didik. Untuk itu guru agama perlu terus meningkatkan kemampuan profesionalnya sebagai guru agama, sehingga pelajaran yang ia berikan dapat menarik bagi anak dan dapat pula menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam diri anak didiknya.
3. Hubungan Orang Tua dan Sekolah dalam Pendidikan Agama
Bertitik tolak dari hak dan tanggung jawab pendidikan agama, baik orang tua maupun guru agama, keduanya sama-sama mempunyai kewajiban dalam mendidik anak. Orang tua berfungsi sebagai pendidik dalam keluarga dan guru yang bertanggung jawab di lembaga formal, yaitu sekolah. Namun pada hakikatnya keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu membimbing anak ke arah kedewasaan dengan menanamkan nilai-nilai agama, agar nanti setelah dewasa anak mampu mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga tercipta kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan hubungan dan kerja sama yang baik antara orang tua dan guru, terutama dalam pendidikan agama. Dalam hal ini Didin Hafidhuddin dalam buku Membentuk Pribadi Qurani, mengatakan, “Tentu sangat ideal apabila lingkungan pendidikan pertama (keluarga) mampu bekerja sama secara harmonis dengan lingkungan pendidikan kedua, yakni sekolah. Kerja sama antara orang tua dan para guru di sekolah merupakan suatu keniscayaan.”
Kerja sama antara orang tua dan sekolah sangatlah penting. Sebab dengan adanya kerja sama tersebut, tujuan pendidikan anak dapat direalisasikan. Hery Noer Aly dan Munzier S. Menyatakan:
Pengajaran apapun yang diberikan kepada anak di sekolah tidak mungkin dapat merealisasikan tujuan apabila tidak ada suasana saling menolong, melengkapi, dan koordinasi antara keluarga dan sekolah. Agar pengaruh pengajaran yang diterima anak di sekolah terus berkesinambungan, dan sesudah itu tingkah laku anak berubah ke arah yang benar, para orang tua hendaknya bekerja sama dengan sekolah untuk mencapai tujuan. Sekolah tanpa bantuan keluarga tidak akan mampu merealisasikan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Dari kerja sama tersebut, orang tua akan dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman dari guru dalam hal mendidik anak-anak mereka. Sebaliknya, para guru pun dapat pula meminta keterangan-keterangan dari orang tua tentang pendidikan dan sifat-sifat anak. Keterangan itu sangat penting bagi guru dalam menerapkan pendidikan di sekolah.
Hubungan sekolah dan masyarakat — Presentation Transcript
  • 1. Hubungan Sekolah dan Masyarakat Sri sundari Spd.;Mpd. FKIP UNIVERSITAS GRESIK
  • 2. PENGERTIAN
  • 3. ASAS KERJA HUBUNGAN SEKOLAH DAN MASYARAKAT
  • 4. KEGIATAN
  • 5. FAKTOR PENDUKUNG Adanya program dan perencanaan yang sistematis Tersedia basis dokumentasi yang lengkap Tersedia tenaga ahli, terampil, dan alat sarana serta dana yang memadai Kondisi organisasi sekolah yang memungkinkan untuk meningkatkan kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat
  • 6. FUNGSI Mengatur hubungan sekolah dengan orang tua Memelihara hubungan baik dengan komite sekolah Memelihara dan mengembangkan hubungan sekolah dengan lembaga-lembaga pemerintah, swasta dan organisasi nasional. Memberi pengertian kepada masyarakat tentang fungsi sekolah melalui bermacam-macam teknik komunikasi
  • 7. BENTUK OPERASIONAL
  • 8. TUJUAN MEMBERI PENJELASAN TENTANG KEBIJAKSANAAN PENYELENGGARAAN SEKOLAH MENAMPUNG SARANA DAN PENDAPAT DARI WARGA SEKOLAH MEMELIHARA HUBUNGAN ANTAR WARGA SEKOLAH
  • 9. PRINSIP (T-E-A-M W-O-R-K) Menurut Fasli Jalal dan Dedy Supriyadi (2001), prinsip humas disingkat menjadi TEAMWORK
  • 10. PRINSIP
  • 11. PRINSIP
  • 12. PRINSIP
  • 13. MANFAAT ADANYA SALING PENGERTIAN ANTARA SEKOLAH DENGAN PIHAK LUAR ADANYA KEGIATAN YANG MEMBANTU KARENA MENGETAHUI MANFAAT, ARTI, DAN PENTINGNYA PERANAN MASING-MASING ADANYA KERJASAMA YG ERAT DGN MASING-MASING PIHAK DAN MERASA IKUT BERTANGGUNGJAWAB ATAS SUKSESNYA USAHA PIHAK LAIN.
·          
·         Pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah, orangtua, dan masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat, pendidikan tidak akan berhasil dengan maksimal. Sekarang hampir semua sekolah telah mempunyai komite sekolah yang merupakan wakil masyarakat dalam membantu sekolah, sebab masyarakat dari berbagai lapisan sosial ekonomi sudah sadar betapa pentingnya dukungan mereka untuk keberhasilan pembelajaran di sekolah.
Sebetulnya banyak sekali jenis-jenis dukungan masyarakat pada sekolah. Namun sampai sekarang dukungan tersebut lebih banyak pada bidang fisik dan materi, seperti membantu pembangunan gedung, merehab sekolah, memperbaiki genting, dan lain sebagainya. Masyarakat juga dapat membantu dalam bidang teknis edukatif antara lain menjadi guru bantu, sumber informasi lain, guru pengganti, mengajar kebudayaan setempat, ketrampilan tertentu, atau sebagai pengajar tradisi tertentu. Namun demikian, hal tersebut belumlah terwujud karena berbagai alasan.
Pada dasarnya masyarakat baik yang mampu maupun yang tidak mampu, golongan atas, menengah maupun yang bawah, memiliki potensi yang sama dalam membantu sekolah yang memberikan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Akan tetapi hal ini bergantung pada bagaimana cara sekolah mendekati masyarakat tersebut. Oleh karena itu, sekolah harus memahami cara mendorong peran serta masyarakat agar mereka mau membantu sekolah.
Tulisan ini berikhtiar membicarakan tiga hal antara lain; pentingnya peran serta masyarakat utamanya peran stakeholder bagi pengembangan madrasah; jenis-jenis peran serta masyarakat, serta cara mendorong peran serta masyarakat. Dari sini diharapkan muncul pokok-pokok gagasan setelah melalui proses diskusi dan simulasi yang mencakup munculnya identifikasi stakeholder (baca: kelompok masyarakat) dalam dalam membantu pendidikan; terinventarisasinya jenis-jenis PSM; serta teridentifikasinya beberapa cara mendorong peran serta masyarakat.
Mengapa PSM itu perlu?
•    Pendidikan adalah tanggungjawab bersama keluarga, masyarakat, dan negara;
•    Keluarga bertanggungjawab untuk mendidik moralitas/agama, menyekolahkan anaknya, serta membiayai keperluan pendidikan anaknya;
•    Anak berada di sekolah antara 6-9 jam, selebihnya berada di luar sekolah (rumah dan lingkungannya). Dengan demikian, tugas keluarga amat penting untuk menjaga dan mendidik anaknya;
•    Pendidikan adalah investasi masa depan anak. Oleh karena itu, memerlukan biaya, tenaga dan perhatian. Keberatankah orang tua membayar SPP yang sifatnya bulanan, sedang mereka saja tidak berat untuk membeli rokok setiap hari? Mungkinkah anak menjadi pandai tanpa biaya? Harusnya kita sadar, kita sedang memasuki era globalisasi, dan jika anak kita tidak terdidik, kita akan kalah bersaing dengan bangsa lain.
•    Anak perempuan perlu mendapat pendidikan setinggi anak laki-laki mengingat mereka akan menjadi ibu dari bayi-bayinya. Ibu lebih dekat kepada anak dan mendidik anak perlu pengetahuan yang memadai agar anak tidak salah asuhan/didik;
•    Masyarakat berhak dan berkewajiban untuk mendapatkan dan mendukung pendidikan yang baik. Kewajiban mereka tidak sebatas pada bantuan dana, lebih dari itu juga pemikiran dan gagasan;
•    Pemerintah berkewajiban membuat gedung sekolah, menyediakan tenaga/guru, melakukan standarisasi kurikulum, menjamin kualitas buku paket, alat peraga, dan lain sebagainya. Karena kemampuan pemerintah terbatas, maka peran serta masyarakat sanga diperlukan;
•    Kemampuan pemerintah terbatas sehingga mungkin tidak mampu untuk mengetahui secara rinci nuansa perbedaan di masyarakat yang berpengaruh pada bidang pendidikan. Jadi masyarakat berkewajiban membantu penyelenggaraan pendidikan;
•    Masyarakat dapat terlibat dalam memberikan bantuan dana, pembuatan gedung, lokal, pagar, dan lain sebagainya. Masyarakat juga dapat terlibat dalam bidang teknis edukatif.
•    Idealnya sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah dan juga kepada masyarakat sekitarnya;
•    Bantuan teknis edukatif juga sangat mungkin diberikan, seperti: menyediakan diri menjadi tenaga pengajar, membantu anak berkesulitan membaca, menentukan dan memelihara guru baru yang mempunyai kualifikasi, serta membicarakan pelaksanaan kurikulum dan kemajuan belajar.
Jenis-jenis PSM
Ada bermacam-macam tingkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Peran serta tersebut dapat diklasifikasikan dalam 7 tingkatan, yang dimulai dari tingkat terendah ke tingkat tertinggi. Tingkatan tersebut terinci sebagai berikut:
1.    Peran serta dengan menggunakan jasa yang tersedia. Jenis PSM ini merupakan jenis paling umum. Masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah dengan memasukkan anak ke sekolah;
2.    Peran serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan dana, barang dan atau tenaga;
3.    Peran serta secara pasif. Artinya menyetujui dan menerima apa yang diputuskan oleh sekolah (komite sekolah), misalnya komite sekolah memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi anaknya yang bersekolah dan orangtua menerima keputusan tersebut dengan mematuhinya;
4.    Peran serta melalui adanya konsultasi. Orangtua datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang dialami anaknya;
5.    Peran serta dalam pelayanan. Orantua/masyarakat terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya orangtua ikut membantu sekolah ketika ada studi banding, kegiatan pramuka, kegiatan keagamaan, dan lain sebagainya;
6.    Peran serta sebagai pelaksana kegiatan yang didelegasikan/dilimpahkan. Misalnya, sekolah meminta orangtua/masyarakat untuk memberikan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan, masalah gender, gizi dan lain sebagainya.
7.    Peran serta dalam pengambilan keputusan. orangtua/masyarakat terlibat dalam pembahasan masalah pendidikan (baik akademis maupun non akademis) dan ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam rencana pengembangan sekolah.
Menuju Otonomi pada Tingkat Sekolah; Ikhtiar Memberdayakan Komite Sekolah sebagi Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan
“Komite Sekolah/Madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan”. (Pasal 56, ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003)
Paradigma MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan.  Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan berhasilan pendidikan di sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggungjawab terhadap masyarakat.
Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” itu sangat kompleks dan tak berbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi dengan masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Untuk penyelenggaraan pendidikan di sekolah, konsep masyarakat itu perlu disederhanakan (simplified) agar menjadi mudah bagi sekolah melakukan hubungan dengan masyarakat itu.
Penyederhanaan konsep masyarakat itu dilakukan melalui “perwakilan” fungsi stakeholder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah (KS) pada setiap sekolah dan Dewan Pendidikan (DP) di setiap kabupaten/kota. DP-KS sedapat mungkin bisa merepresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat mewakili masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat dapat diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekolah-sekolah dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan di pemerintah kabupaten/kota dengan Dewan Pendidikan. Bukti tanggungjawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam fungsi yang melekat pada DP dan KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, fungsi kontrol dan akuntabilitas publik, fungsi pendukungan (supports), serta fungsi mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya.
Kemandirian setiap satuan pendidikan adalah salah satu sasaran dari kebijakan desentralisasi pendidikan sehingga sekolah-sekolah menjadi lembaga yang otonom dengan sendirinya. Namun tentu saja, pergeseran menuju sekolah-sekolah yang otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus, tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui suatu mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu. Melalui strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, Depdiknas tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola pendidikan, tetapi juga berkepentingan dsalam mewujudkan otonomi satuan pendidikan, Depdiknas memiliki keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap penyelenggara pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. MBS mengembangkan satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka adalah pihak yang paling mengetahui operasional pendidikan. Sesuai dengan strategi ini sekolah bukan bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional yang bertanggung jawab terhadap klien atau stakeholder yang diwakili oleh Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak diukur dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau stakeholder. Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk mendorong sekolah-sekolah agar berkembang menjadi lembaga profesional dan otonom sehingga mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu masyarakat.
Perlu juga difahami bahwa pengembangan paradigma MBS, bukanlah kelanjutan apalagi “kemasan baru” dari Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP3). Adalah keliru jika DP dan KS adalah alat untuk “penarikan iuran”, karena “penarikan iuran” yang dilakukan oleh BP3 terbukti tidak berhasil memobilisasi partisipasi dan tanggungjawab masyarakat. Tetapi yang harus lebih difahami adalah fungsi Dewan dan Komite sebagai jembatan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah yang hanya terbatas personalianya, akan sangat dibantu jika dibuka kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut memikirkan pendidikan di sekolah-sekolah. Sekolah yang sangat tertutup bagi kontribusi pemikiran dari masyarakat harus kita akhiri, dan dengan MBS, dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut serta memikirkan pendidikan di sekolah. Dengan konsep MBS, masyarakat akan merasa memiliki dan mereka akan merasa tanggungjawab untuk keberhasilan pendidikan di dalamnya. Jika ini dapat diwujudkan, jangankan “iuran” bahkan apapun yang mereka miliki (uang, barang, tenaga, fikiran bahkan kesempatan) akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak bangsa yang berlangsung di sekolah-sekolah.
Pengelolaan Pendidikan pada tingkat Sekolah
Peran dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan manajemen pendidikan di tingkat sekolah. Beberapa aspek manajemen yang secara langsung dapat diserahkan sebagai urusan yang menjadi kewenangan tingkat sekolah adalah sebagai berikut.
Pertama, menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Urusan ini amat penting sebagai modal dasar yang harus dimiliki sekolah. Setiap sekolah seyogyanya telah dapat menyusun dan menetapkan sendiri visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Ini merupakan bukti kemandirian awal yang harus ditunjukkan oleh sekolah. Jika masa lalu sekolah lebih dipandang sebagai lembaga birokrasi yang selalu menunggu perintah dan petunjuk dari atas, dalam era otonomi daerah ini sekolah harus telah memiliki kesadaran untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Sudah barang tentu, sekolah harus menjalin kerjasama sebaik mungkin dengan orangtua dan masyarakat sebagai mitra kerjanya. Bahkan dalam menyusun program kerjanya, sebagai penjabaran lebih lanjut dari visi, misi, strategi, dan tujuan sekolah tersebut, orangtua dan masyarakat yang tergabung dalam Komite Sekolah, serta seluruh warga sekolah harus dilibatkan secara aktif dalam menyusun program kerja sekolah, dan sekaligus lengkap dengan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
Kedua, memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang kelas yang tesedia, fasilitas yang ada, jumlah guru, dan tenaga administratif yang dimiliki. Berdasarkan sumber daya pendukung yang dimilikinya, sekolah secara bertanggung jawab harus dapat menentukan sendiri jumlah siswa yang akan diterima, syarat siswa yang akan diterima, dan persyaratan lain yang terkait. Sudah barang tentu, beberapa ketentuan yang ditetapkan oleh dinas pendidikan kabupaten/kota perlu mendapatkan pertimbangan secara bijak.
Ketiga, menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan diadakan dan dilaksanakan oleh sekolah. Dalam hal ini, dengan mempertimbangkan kepentingan daerah dan masa depan lulusannya, sekolah perlu diberikan kewenangan untuk melaksanakan kurikulum nasional dengan kemungkinan menambah atau mengurangi muatan kurikulum dengan meminta pertimbangan kepada Komite Sekolah. Kurikulum muatan lokal, misalnya dalam mengambil kebijakan untuk menambah mata pelajaran seperti Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya, komputer, dsb. Sudah barang tentu, kebijakan itu diambil setelah meminta pertimbangan dari Komite Sekolah, termasuk resiko anggaran yang diperlukkan untuk itu. Dalam kaitannya dengan penetapan kegiatan ekstrakurikuler, sekolah juga harus meminta pendapat siswa dalam menentukan kegiatan ekstrakurikuler yang akan diadakan oleh sekolah.
Oleh karena itu sekolah dapat melakukan pengelolaan biaya operasio-nal sekolah, baik yang bersumber dari pemerintah Kabupaten/Kota maupun dari masyarakat secara mandiri. Untuk mendukung program sekolah yang telah disepakati oleh Komite Sekolah diperlukan ketepatan waktu dalam pencairan dana dari pemerintah kabupaten/kota. Oleh kaarena itu praktik birokrasi yang menghambat kegiatan sekolah harus dikurangi.
Keempat, pengadaan sarana dan prasana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada. Misalnya, buku murid tidak seenaknya diganti setiap tahun oleh sekolah, atau buku murid yang akan dibeli oleh sekolah adalah yang telah lulus penilaian, dsb. Pemilihan dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan oleh sekolah, dengan tetap mengacu kepada standar dan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau provinsi dan kabupaten/kota.
Kelima, penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah, dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah, provinsi, dan kabupaten. Yang biasa terjadi justru, karena kewenangan penghapusan itu tidak jelas, barang dan jasa yang ada di sekolah justru tidak pernah dihapuskan, meskipun ternyata barang dan jasa itu sama sekali telah tidak berfungsi atau malah telah tidak ada barangnya.
Keenam, proses pengajaran dan pembelajaran. Ini merupakan kewenangan profesional sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah. Kepala sekolah dan guru secara bersama-sama merancang proses pengajaran dan pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan lancar dan berhasil. Proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan direkomendasikan sebagai model pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh sekolah. Pada masa sentralisasi pendidikan, proses pembelajaran pun diatur secara rinci dalam kurikulum nasional. Dalam era otonomi daerah, kurikulum nasional sedang dalam proses penyempurnaan menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK).  Dengan KBK ini, diharapkan para guru tidak akan terpasung lagi kreativitasnya dalam melaksanakan dan mengembangkan kurikulum.
Ketujuh, urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal harus menjadi tanggung jawab dan kewenagan setiap satuan pendidikan.
Pemberdayaan Komite Sekolah
Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah merupakan  satu bentuk desentraliasasi yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di lapangan. Jika kantor cabang dinas pendidikan kecamatan, dan dinas pendidikan kabupaten/kota lebih memiliki peran sebagai failitator dalam proses pembinaan, pengarahan, pemantauan dan penilaian, maka sekolah seharusnya diberikan peran nyata dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan.  Hal ini disebabkan karena proses interaksi edukatif di sekolah merupakan inti dari proses pendidikan yang sebenarnya. Oleh karena itu, bentuk desentralisasi pendidikan yang paling mendasar adalah yang dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan Komite Sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat, dan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota, dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan. Amanat rakyat ini sejalan dengan konsepsi desentralisasi pendidikan, baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat sekolah. Amanat rakyat dalam undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam Kepmendiknas tersebut disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah adalah (1) sebagai advisory agency (pemberi pertimbangan), (2) supporting agency (pendukung kegiatan layanan pendidikan), (3) controlling agency (pengontrol kegiatan layanan pendidikan), dan (4) mediator atau penghubung atau pengait tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah
Untuk dapat memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat, sekolah harus dapat membina kerjasama dengan orangtua dan masyarakat, menciptakan suasa kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah. Itulah sebabnya maka paradigma MBS mengandung makna sebagai manajemen partisipatif yang melibatkan peran serta masyarakat, sehingga semua kebijakan dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama, untuk mencapai keberhasilan bersama. Dengan demikian, prinsip kemandirian dalam MBS adalah kemandirian dalam nuansa kebersamaan, dan hal ini merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip yang disebut sebagai total quality management, melalui suatu mekanisme yang dikenal dengan konsepsi total football dengan menekankan pada mobilisasi kekuatan secara sinergis yang mengarah pada satu tujuan, yaitu peningkatan mutu dan kesesuaian pendidikan dengan pengembangan masyarakat.
Pertama, Penyusunan Rencana dan Program; sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan, sekolah bertanggungjawab dalam menentukan kebijakan sekolah dalam melaksanakan kebijakan pendidikan sesuai dengan arah kebijakan pendidikan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Sebagai penyelenggara dan pelaksana kebijakan pendidikan nasional, sekolah-sekolah bertugas untuk menjabarkan kebijakan pendidikan nasional menjadi program-program operasional penyelenggaraan pendidikan di masing-masing sekolah. Program-program tersebut terdiri dari penyusunan dan pelaksanaan rencana  kegiatan mingguan, bulanan, semesteran serta tahunan yang sesuai dengan arah kebijakan serta kurikulum yang telah ditetapkan baik pada tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota. Setiap rencana dan program yang disusun serta dilaksanakan di sekolah harus mengacu pada standar pelayanan minimum (SPM) yang diterapkan untuk pemerintahan kabupaten/kota serta standar teknis yang diterapkan untuk masing-masing satuan pendidikan. Untuk dapat memerankan fungsi ini, Komite Sekolah menjadi “pendamping” bahkan “penyeimbang” bagi sekolah-sekolah, sehingga setiap rencana dan program yang disusun oleh sekolah dapat diberikan masukan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang diwakili oleh Komite sekolah dimaksud. Atas nama masyarakat yang diwakilinya, Komite Sekolah dapat menyatakan “setuju” atau “tidak setuju” terhadap rencana dan program pendidikan yang disusun oleh sekolah.
Selain melaksanakan kurikulum yang telah ditetapkan dari pusat, propinsi dan kabupaten.kota, sekolah-sekolah dapat juga menyusun program pendidikan life skills yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pada masyarakat sekitar. Dalam penyusunan program pendidikan “life skills”, Komite Sekolah dapat membantu sekolah-sekolah untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai kebutuhan serta potensi sumberdaya yang tersedia di dalam masyarakat untuk diterjemahkan ke dalam program pendidikan “life skills” yang dapat dilaksanakan oleh sekolah.  Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan adalah melalui rapat Komite Sekolah dengan sekolah yang dilaksanakan setiap semester atau tahunan, untuk menyusun, memperbaiki serta menyesuaikan rencana dan program untuk semester berikutnya.
Kedua, Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS); dalam fungsinya sebagai pelaksana pendidikan yang otonom, sekolah berperan dalam menyusun RAPBS setiap akhir tahun ajaran untuk digunakan dalam tahun ajaran berikutnya. Program-program yang sudah dirumuskan untuk satu semester atau satu tahun ajaran kedepan perlu dituangkan  ke dalam kegiatan-kegiatan serta anggarannya masing-masing sesuai dengn pos-pos pengeluaran pendidikan di tingkat sekolah. Dari sisi pendapatan, seluruh jenis dan sumber pendapatan yang diperoleh sekolah setiap tahun harus dituangkan dalam RAPBS, baik yang bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kecamatan, maupun sumber-sumber lain yang diperoleh secara langsung oleh sekolah-sekolah.  Dengan demikian, setiap rupiah yang diperoleh sekolah dari sumber-sumber tersebut harus sepenuhnya diperhitungkan sebagai pendapatan resmi sekolah dan diketahui bersama baik oleh pihak sekolah (kepala sekolah, guru-guru, pegawai, serta para siswa) maupun oleh Komite Sekolah sebagai wakil stakeholder pendidikan.
Dari sisi belanja sekolah, seluruh jenis pengeluaran untuk kegiatan pendidikan di sekolah harus diketahui bersama baik oleh pihak sekolah maupun oleh pihak Komite Sekolah, sesuai dengan rencana dan program yang telah disusun bersama oleh kedua pihak tersebut. Kedua sisi anggaran tersebut dituangkan ke dalam suatu neraca tahunan sekolah yang disebut dengan RAPBS yang harus disyahkan atas dasar persetujuan bersama antara pihak sekolah dan Komite Sekolah yang ditandatangani oleh kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah, sehingga menjadi APBS pendidikan di tingkat sekolah yang resmi. Mekanisme ini diperlukan untuk memperkecil penyalahgunaan baik dalam pendapatan maupun dalam pengeluaran sekolah, sehingga anggaran resmi pendidikan di sekolah menjadi bertambah serta pendayagunaannya semakin efisien.
Ketiga, pelaksanaan program pendidikan; sistem pendidikan pada masa orde baru, pelaksanaan pendidikan secara langsung dikendalikan oleh sistem birokrasi dengan mata rantai yang panjang sejak tingkat pusat, daerah bahkan sampai tingkat satuan pendidikan. Pada waktu itu sekolah-sekolah adalah bagian dari sistem birokrasi yang haru tunduk terhadap ketentuan birokrasi. Pengaturan penyelenggaraan pendidikan pada masa birokrasi dilakukan secara uniform (one fits for all) atau dilakukan secara baku dengan pangaturan dari pusat, sejak perencanaan pendidikan, pelaksanaan pendidikan di sekolah termasuk persiapan mengajar, metodologi dan pendekatan mengajar, buku dan sarana pendidikan, sampai kepada penilaian pendidikan. Dengan kata lain, kepada sekolah-sekolah tidak diberikan kesempatan untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri dalam pelaksanaan pendidikan. Kepala sekolah tidak diberikan kesempatan untuk mengambil keputusan mereka sendiri dalam mengelola sistem pendidikan untuk memecahkan berbagai permasalahan pendidikan yang sesuai dengan kondisi sekolahnya masing-masing.  Kepada guru-guru juga tidak diberikan kesempatan untuk berinisiatif atau berinovasi dalam melaksanakan pengajaran atau mengelola kegiatan belajar murid secara maksimal karena metoda mengajar dan teknik evaluasi juga diatur secara langsung melalui juklak dan juknis yang dibuat dari pusat.
Dalam masa desentralisasi pendidikan ke depan, melalui paradigma MBS sekolah-sekolah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur pelaksanaan pendikdikan pada masing-masing sekolah. Pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah dalam tempat yang berlainan dimungkinkan untuk menggunakan sistem dan pendekatan pembelajaran yang berlainan. Kepala sekolah diberikan keleluasaan untuk mengelola pendidikan dengan jalan mengadakan serta memanfaatkan sumber-sumberdaya pendidikan sendiri-sendiri asalkan sesuai dengan kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh pusat. Oleh karena karakteristik setiap murid juga berbeda-beda secara individual, maka pendekatan pembelajaran juga dimungkinkan berbeda untuk masing-masing murid yang berlainan.
Dalam keadaan seperti itu, maka Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah akan dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai penunjang dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang sejalan dengan kondisi dan permasalahan lingkungan masing-masing sekolah.  Komite sekolah dapat melaksanakan fungsinya sebagai partner dari kepala sekolah dalam mengadakan sumber-sumberdaya pendidikan dalam rangka melaksanakan pengelolaan pendidikan yang dapat memberikan fasilitasi bagi guru-guru dan murid untuk belajar sebanyak munghkin, sehingga pembelajaran menjadi semakin efektif.  Komite Sekolah bisa ikut serta untuk meneliti dan berbagai permasalahan belajar yang dihadapi oleh murid secara kelompok maupun secara individual sehingga dapat membantu guru-guru untuk menerapkan pendekatan belajar yang tepat bagi murid-muridnya.  Dewan Pendidikan pada setiap Kabupaten/Kota dapat melaksanakan program pendukungan dalam bentuk studi atau penelitian terhadap berbagai permasalahan pendidikan di sekolah-sekolah agar dapat memberikan masukan kepada Dinas Kabupaten/Kota untuk menerapkan suatu kebijakan yang tepat dan kena sasaran.  Dewan Pendidikan juga dapat memberikan penilaian kepada berbagai kebijakan pendidikan yang diterapkan terutama menyangkut berbagai dampak yang sudah atau mungkin terjadi dalam penerapaan suatu kebijakan baru.
Keempat, akuntabilitas pendidikan, dalam masa orde baru, satu-satunya pihak yang berwenang untuk meminta pertanggungjawaban pendidikan ke sekolah-sekolah adalah pemerintah pusat.  Pada waktu itu, pemerintah pusat telah menempatkan “kaki tangan”nya di seluruh pelosok tanah air melalui pemeriksa, pengawas atau para penilik sekolah untuk mengawasi dan meminta pertanggungjawaban sekolah-sekolah menganai proses pendidikan yang berkangsung di sekolah-sekolah. Jika terdapat “penyimpangan adminisgtratif” yang dilakukan oleh kepala sekolah atau guru-guru, maka kepada mereka diberikan sanksi administratif, seperti teguran resmi, penilaian melalui DPK, penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat dsan sejenisnya. Namun, penilalaian tersebut lebih banyak diberikan terhadap proses administrasi pendidikan dan hampir tidak pernah ada sanksi (punishment) atau “ganjaran” (rewards) kepada guru-guru atau kepala sekolah atas dasar hasil-hasil yang dicapai dalam pembelajaran murid atau lulusan.
Dalam era demokrasi dan partisipasi, akuntabilitas pendidikan tidak hanya terletak pada pemerintah, tetapi bahkan harus lebih banyak pada masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Dewan Pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota perlu menempatkan fungsinya sebagai wakil dari masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban atas hasil-hasil pendidikan dalam mencapai prestasi belajar murid-murid pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.  Dewan Pendidikan perlu diberikan kesempatan untuk menyampaikan masukan bahkan “protes” kepada Dinas Pendidikan jika hasil-hasil pendidikannya tidak memuaskan masyarakat sebagai klien pendidikan.  Sama halnya, Komite Sekolah dapat menyampaikan ketidakpuasan para orangtua murid akan rendahnya prestasi yang dicapai oleh suatu sekolah.  Dewan Pendidikan atau Komite Sekolah tidak perlu melaksanakan kegiatan studi atau penilaian pendidikan, tetapi cukup dengan menggunakan data-data yang tersedia atau hasil-hasil penilaian yang sudah ada sebagai bahan untuk menyampaikan kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat terhadap Dinas Pendidikan atau kepada masing-masing sekolah. Dengan demikian, diperlukan suatu mekanisme akuntabilitas pendidikan yang dibentuk melalui suatu Peraturan Daerah di bidang pendidikan. []