Peran Pendidikan
dalam membangun Bangsa
Tidak ada kegiatan bangsa yang lepas dari peran pendidikan. Bahkan
dalam banyak hal peran pendidikan sangat menentukan
untuk dapat melakukan kegiatan yang bermutu. Sebab itu setiap bangsa menjadikan
pendidikan kegiatan utama
dalam mengusahakan kemajuannya. Dengan mengusahakan
kemajuan sekali gus dibangun kekuatan bangsa itu.
Sebab utama mengapa
pendidikan berpengaruh
terhadap setiap kegiatan bangsa adalah karena faktor manusia. Hampir tidak ada
kegiatan bangsa yang tidak memerlukan peran manusia. Bahkan peran manusia
sangat menentukan dalam pelaksanaan berbagai kegiatan itu, juga ketika terjadi
kemajuan teknologi yang amat pesat. Dalam kemajuan teknologi itu banyak
pekerjaan manusia dapat digantikan oleh peran mesin atau robot. Meskipun
demikian, juga penggunaan mesin dan robot itu banyak ditentukan peran manusia.
Malahan diperlukan peran manusia yang makin cerdas dan arif bijaksana. Faktor
manusia juga amat penting bagi bangsa
dalam
memperkuat kondisi mentalnya. Meskipun ada yang berpendapat bahwa
Nation
State atau Negara-Bangsa berakhir eksistensinya dalam masa globalisasi
sekarang ini, dalam kenyataan tetap Negara-Bangsa menjadi aktor utama
dalam arena dunia. Untuk itu peran nasionalisme tetap
penting yang amat tergantung dari sikap warga bangsa itu. Melalui
pendidikan pula dapat dan harus ditumbuhkan kondisi
mental para warga bangsa itu, khususnya semangat nasionalisme yang kuat. Namun
pembangunan manusia tidak hanya untuk kepentingan bangsa. Pembangunan manusia
juga dan terutama untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Perjuangan kita sejak permulaan abad ke 20 dan sebelumnya adalah untuk
menjadikan Manusia Indonesia mahluk yang bermartabat dan tidak kalah dari
manusia lainnya, terutama dari bangsa-bangsa yang sudah maju. Kita ingin agar
Manusia Indonesia cerdas, mempunyai perasaan yang halus dan peka, sehingga
dapat menghasilkan kehidupan yang bermakna. Malahan kita ingin Manusia
Indonesia lebih dari itu, kalau kita perhatikan kelemahan-kelemahan yang masih
ada pada bangsa kita.
Salah satu kelemahan Manusia Indonesia adalah kecenderungan menjadi manja
karena hidup dalam Alam yang serba murah dan mudah. Akibatnya adalah bahwa
berbagai potensi positif yang dimiliki Manusia dan Alam Indonesia tidak dapat
berkembang secara wajar untuk kepentingan Indonesia sendiri. Kelemahan ini
cenderung membuat kondisi mental yang kurang kuat, mudah menyerah dan mencari
jalan termudah yang belum tentu memberikan penyelesaian terbaik. Energi yang
kurang dapat dikembangkan Manusia Indonesia yang manja itu juga berakibat
kurang kuatnya karakter. Antara lain itu menonjol dalam kenyataan bahwa Manusia
Indonesia pandai membuat teori dan konsep, tetapi kurang sekali dalam
implementasi teori dan konsep itu karena kurang kuatnya komitmen. Juga lemahnya
disiplin adalah akibat kelemahan ini, disertai kurang ada niat untuk
menghasilkan yang terbaik
dalam berbagai
perbuatan. Tidak jarang pekerjaan dilakukan dengan “asal jadi”. Juga nampak
sekali sekarang betapa rendahnya semangat nasionalisme di banyak kalangan di
Indonesia, jauh lebih rendah dari semangat nasionalisme di Vietnam, Thailand
dan Singapura. Kelemahan yang amat mendasar ini harus dapat kita atasi dan
perbaiki kalau kita ingin Indonesia menjadi negara dan bangsa yang selamat,
maju dan sejahtera.
Untuk mewujudkan Manusia Indonesia yang kuat menghadapi Alam yang mudah dan
murah diperlukan pendidikan. Dengan
pendidikan
kita transfer dan tumbuhkan pada Manusia Indonesia nilai-nilai, kecerdasan dan
kecakapan, serta sikap mental yang ulet dan tangguh tetapi juga perasaan yang
halus.
Karena faktor manusia demikian penting
dalam
kehidupan bangsa, maka pendidikan menjadi amat menentukan perannya. Sebab
partisipasi yang dilakukan manusia harus bermutu agar memberikan hasil
semaksimal mungkin.. Maka agar partisipasi manusia benar-benar bermutu, ia
harus memperoleh
pendidikan yang diperlukan.
Sudah lampau masanya bahwa manusia secara alamiah dapat tumbuh menjadi
manusia bermartabat, manusia yang melakukan pekerjaan
dalam
masyarakat secara efektif. Manusia harus dibantu untuk memahami dan meraih
berbagai nilai kehidupan yang menjadikannya bermartabat. Selain itu ia harus
disiapkan untuk melakukan berbagai pekerjaan yang dihadapi.
Pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan
untuk menyampaikan kepada orang atau pihak lain segala hal untuk menjadikannya
mampu berkembang menjadi manusia yang lebih baik, lebih bermutu, dan dapat
berperan lebih baik pula dalam kehidupan lingkungannya dan masyarakatnya. Hal
yang disampaikan itu meliputi sistem nilai, pengetahuan, pandangan, kecakapan
dan pengalaman. Makin baik penyampaian itu, makin besar kemungkinan manusia
menjadi bermartabat. Dan makin baik perannya
dalam
kehidupan lingkungan dan masyarakatnya. Itu juga menjadi persiapan yang baik
untuk menghadapi pekerjaan dan kehidupan, menjadikan manusia makin mampu
melakukan pekerjaannya.
Penyampaian itulah yang dilakukan pendidikan, baik secara mental,
intelektual maupun fisik. Dapat dikatakan bahwa pendidikan itu harus selalu
bermutu karena pendidikan yang tidak bermutu tidak ada manfaatnya sama sekali.
. Bahkan pendidikan yang tidak bermutu dapat berakibat sebaliknya dengan
menghasilkan manusia asosial, manusia yang menjadi ancaman bagi kehidupan.
Pendidikan yang tidak bermutu juga tidak dapat menyiapkan manusia secara baik
dan benar untuk melakukan pekerjaannya. Ini berarti bahwa pendidikan yang tidak
bermutu bukanlah pendidikan. Hal ini seringkali kurang diperhatikan orang-orang
yang menjalankan fungsi
pendidikan.
Agar dapat menjalankan sesuatu dengan baik, manusia dipengaruhi oleh faktor
mentalnya, faktor inteleknya dan faktor fisiknya. Sebab itu
pendidikan harus selalu mengandung aspek mental, aspek
intelektual dan aspek fisik yang diusahakan
dalam
harmoni satu sama lainnya.
Pada dasarnya pendidikan dilakukan di lingkungan
keluarga,
dalam masyarakat dan melalui sistem sekolah. Karena setiap manusia bermula
kehidupannya dengan dilahirkan ibunya
dalam
lingkungan keluarganya, maka dapat dikatakan bahwa Pendidikan di Lingkungan
Keluarga menjadi landasan segenap usaha
pendidikan sepanjang hidup manusia. Celakalah satu
bangsa yang tidak dapat menjaga kehidupan
keluarga
yang teratur.
Pendidikan di Lingkungan Keluarga sebagai landasan kehidupan
bangsa.
Pendidikan sudah harus dimulai sejak bayi
masih dalam kandungan. Berbagai usaha dilakukan agar dapat dikomunikasikan
kepada si calon bayi hal-hal yang menjadikannya nanti manusia yang baik dan
bermutu.
Dalam kebudayaan lokal di Indonesia,
seperti di Jawa, ada tradisi berupa macam-macam upacara untuk melakukan
komunikasi itu.
Setelah lahir bayi perlu diurus dengan sebaik-baiknya agar tetap hidup.
Pemberian air susu ibu atau ASI merupakan hal yang penting dan diakui
manfaatnya oleh ilmu pengetahuan. Selain ASI penting dilihat dari sudut makanan
dan fisik bayi, pemberian ASI juga ada hubungannya dengan faktor mental,
seperti penanaman disiplin pada bayi. Seperti memberikan ASI pada waktu
tertentu dan tidak sembarang waktu, umpama saja untuk menghentikan bayi
menangis. Dengan tumbuhnya kebiasaan tentang waktu menerima ASI dan tidak pada
waktu lain pada bayi terwujud kebiasaan mengikuti aturan orang lain. Demikian
pula keteraturan waktu dan cara mandi menimbulkan pada bayi dasar untuk hidup
teratur nanti.
Makin tumbuh besar bayi itu makin banyak hal yang dapat dilakukan untuk
penyampaian nilai kehidupan. Juga makin banyak hal dijadikan pengetahuan bayi
agar daya pikirnya makin aktif. Yang amat penting adalah cinta kasih ibu karena
hal itu menimbulkan rasa aman bagi bayi yang kemudian dapat menjadi rasa
percaya diri yang wajar. Akan tetapi tidak boleh ada tindakan yang bernada
memanjakan. Tidak ada hal yang lebih merusak masa depan anak dari pada
pemanjaan. Sebaliknya bayi “ditantang” melakukan hal-hal baru, seperti berani
naik tangga ketika sudah dapat berjalan dan tidak digotong ibu. Diberikan
kesempatan untuk banyak bermain, sebaiknya bersama-sama anak yang sebaya. Sebab
itu adalah baik sekali kalau pada umur 3 tahun anak sudah masuk
dalam kelompok main (
play group) agar mulai
membiasakan diri bergaul dengan anak lain. Dalam permainan diberikan kebebasan
melakukan banyak hal, termasuk mencoret-coret gambar untuk menyatakan
perasaannya. Di rumah disiplin dipelihara terus, sehingga anak menyadari bahwa
kasih sayang tidak berarti membolehkan segala kemauan anak. Anak mulai tahu
bahwa ia bebas berbuat tetapi selalu
dalam batas
tidak mengganggu ketertiban
keluarga dan tidak
merugikan pihak lain. Dengan begitu sudah mulai kecil dibangun kekuatan
mentalnya. Anak dibiasakan untuk selalu mengusahakan yang terbaik.
Makin besar anak, makin banyak pengetahuan disampaikan kepadanya dan makin
banyak kemampuan ditumbuhkan. Bersama itu anak diberi tanggungjawab yang harus
dilaksanakannya. Seperti membereskan tempat tidur sendiri, turut mengatur dan
membersihkan rumah, membantu dalam asah-asah piring sehabis makan, dan lainnya.
Anak harus memperoleh kesadaran bahwa ia mempunyai tempat dan fungsi
dalam rumah tangga yang harus diselesaikan dengan
sebaik-baiknya sebelum ia bermain-main di luar rumah. Namun segala
tanggungjawab itu harus disertai kegembiraan sehingga tidak dirasakan sebagai
beban yang memberatkan hidupnya. Juga mulai ditumbuhkan rasa cinta Tanah Airnya
melalui cerita, wejangan orang tua dan ajakan wisata untuk mengenal Tanah
Airnya lebih baik.
Kebiasaan memperoleh kasih sayang ibu dan bapak membuat anak juga sanggup
memberikan kasih sayang kepada orang lain, baik kepada saudara-saudaranya
sendiri maupun kepada orang lain di luar
keluarganya.
Dalam pada itu anak sudah mulai mengikuti
pendidikan sekolah, dimulai dengan Taman Kanak-Kanak,
kemudian ke SD dan SMP. Bersamaan dengan itu pengetahuannya makin bertambah dan
timbul dorongan untuk tahu lebih banyak menjadi makin kuat. Sebab itu di rumah
anak dilayani dengan semestinya kalau mengajukan pertanyaan. Anak bahkan
didorong agar belajar yang baik di sekolah dan kalau perlu dibantu ketika
menghadapi pelajaran sekolah yang dianggap sukar oleh anak. Anak didorong untuk
berbuat paling baik, berprestasi dalam apa pun yang dikerjakan. Juga makin
disadarkan kebangsaannya melalui ulasan mengenai keadaan bangsa dan
kelilingnya. Sebaliknya, kalau menunjukkan sikap malas dan ogah-ogahan perlu
dicari sebabnya mengapa demikian. Dengan begitu anak diusahakan menjadi orang
yang dinamis tapi stabil pikiran dan perasaannya. Ketika mulai timbul perasaan
asmara di masa pubertasnya, hal itu tidak dilarang. Melainkan ia diberi pedoman
bagaimana menyalurkan perasaan itu dalam sikap dan perbuatan yang tidak
merugikan dirinya.
Dalam hal ini hubungan yang
erat dengan ibu adalah amat penting.
Ketika sudah pada usia 16 tahun anak makin dipengaruhi untuk mengembangkan
vitalitasnya dan menunjukkan prestasi
dalam hal
atau bidang yang ia sukai. Tauladan orang tua untuk anak adalah penting sejak
anak kecil, tetapi terlebih penting ketika anak itu berumur 13-16 tahun dan makin
kritis serta mampu membandingkan. Penyaluran emosi yang makin kuat perlu
mendapat pedoman yang dikomunikasikan dengan baik sehingga dimengerti dan
diterima anak. Kalau tidak, maka ia akan memberontak . Dialog antara anggota
keluarga makin diperlukan. Ganjaran (
reward)
terhadap perbuatan yang menonjol dan unggul harus diberikan agar menstimulasi
perkembangan lebih tinggi. Faktor patriotisme harus semakin menonjol
dalam memotivasi dan mendorong perbuatan yang
berprestasi.
Ketika menginjak umur dewasa di atas 18 tahun pendidikan dalam keluarga pada
dasarnya telah berakhir. Anak telah menjadi manusia dewasa. Makin banyak
pendidikan diperolehnya dari luar
keluarga, baik
dalam masyarakat maupun di lembaga
pendidikan. Meskipun begitu harus terus dipelihara hubungan
orang tua dan anak yang dilandasi kasih sayang, tauladan yang tepat dan
komunikasi yang lancar untuk mendiskusikan segala hal yang dirasakan perlu oleh
anak. Namun sekarang orang tua menempatkan diri sebagai penasehat anak dan
membiasakan anak mengambil keputusannya sendiri. Ia harus mulai sadar bahwa
baik buruk kehidupannya adalah di tangannya sendiri, sedangkan orang lain
termasuk orang tua adalah penasehat. Dengan begitu akan timbul rasa
tanggungjawab yang kuat
dalam menentukan segala
sesuatu dan ada kemampuan mengambil keputusan yang makin cermat.
Tanggungjawab atas Pendidikan
Keluarga
Pendidikan dalam
Keluarga adalah tanggungjawab orang tua, dengan
peran Ibu lebih banyak. Karena Ayah biasanya pergi bekerja dan kurang ada di
rumah, maka hubungan Ibu dan anak lebih menonjol. Meskipun begitu peran Ayah
juga amat penting, terutama sebagai tauladan dan pemberi pedoman, terutama soal
cinta Tanah Air dan patriotisme. Kalau anak sudah mendekat dewasa peran Ayah
sebagai penasehat juga amat penting, karena dapat memberikan aspek berbeda dari
yang diberikan Ibu. Oleh karena hubungan Ayah dan anak relatif terbatas
waktunya, terutama di hari kerja, maka Ayah harus mengusahakan agar pada hari
libur memberikan waktu lebih banyak untuk berhubungan dengan anak.
Makin banyaknya jumlah Ibu-bekerja (
working mother) menimbulkan
persoalan tidak sedikit bagi pendidikan anak. Sebaliknya, kalau penghasilan
keluarga tergantung pada penghasilan Ayah saja yang kurang memadai untuk
kehidupan
keluarga, juga akan timbul persoalan pendidikan
yang tidak sedikit. Sebab itu gejala yang makin meluas tentang Ibu-bekerja
tidak harus ditolak, tetapi dicari jalan agar tidak terjadi kekurangan yang
fatal untuk
pendidikan. Salah satu cara adalah
kehadiran nenek di lingkungan
keluarga. Juga penempatan
anak
dalam lembaga Penitipan Anak ketika anak
itu masih kecil merupakan cara yang tidak salah, asalkan diketahui bahwa
penyelenggaraannya dilakukan oleh orang-orang yang dapat dipercaya. Meskipun
demikian, para Ibu-bekerja harus selalu mengusahakan waktu maksimal untuk dapat
berhubungan dengan anaknya.
Ada pendapat berbeda tentang pendidikan dalam
keluarga,
yaitu tentang pemberian kebebasan kepada anak. Ada yang berpendapat bahwa
sebaiknya sejak permulaan diberikan kebebasan maksimal kepada anak.
Dalam hal ini faktor
pendidikan
kepada anak sudah berakhir sebelum anak itu dewasa. Pendapat demikian terutama
banyak ditemukan di Amerika Serikat yang kuat menganut prinsip liberalisme.
Pendapat ini menganut sikap bahwa berbagai larangan dan pedoman kepada anak
hanya menimbulkan keterbatasan pada anak untuk mengembangkan dirinya secara
wajar. Dengan begitu potensi dan bakat anak tidak dapat berkembang menjadi
kekuatan nyata.
Mungkin saja pendapat liberal ini baik untuk anak Amerika, tetapi
dalam kebudayaan Timur dan khususnya Indonesia yang
memandang kebersamaan sebagai sumber kebahagiaan, rupanya sikap liberal itu
kurang cocok. Mungkin hanya cocok bagi
keluarga
yang begitu
kebarat-baratan (westernized) sehingga sudah kehilangan
akarnya pada kebudayaan bangsanya sendiri. Toh dalam kenyataan terbukti bahwa
keluarga yang menerapkan pendidikan
keluarga
dapat menghasilkan pribadi-pribadi yang tidak kalah mutunya
dalam kehidupan dari pribadi hasil
pendidikan liberal. Hal itu cukup banyak dibuktikan
oleh orang-orang Jepang yang bergulat dalam berbagai bidang dengan orang
Amerika, termasuk
dalam ilmu pengetahuan,
bisnis, olahraga dan lainnya.
Pendidikan dalam Keluarga dapat memberikan pengaruh besar kepada karakter
orang. Sebab itu kunci utama untuk menjadikan Manusia Indonesia tidak manja dan
hidup energik terletak dalam pendidikan dalam
keluarga.
Kalau kita membaca pernyataan berbagai pemimpin besar dunia, maka banyak di
antara mereka memberikan nilai penting kepada pendidikan
dalam keluarga. Juga
ada yang menyebutkan pengaruh kuat dari Kakek atau Nenek. Antara lain Bung
Karno selalu mengagungkan pengaruh Ibu. Juga Ki Hadjar Dewantara mengemukakan
pentingnya
Pendidikan dalam
Keluarga.
Dan karakter yang ditumbuhkan adalah faktor yang amat penting dalam
kepribadian orang, karena banyak mempengaruhi prestasi dalam berbagai bidang.
Baik itu bagi pemimpin masyarakat, olahragawan, kaum bisnis maupun para
pendidik sendiri. Ilmu pengetahuan dan kemampuan teknik adalah penting bagi
pencapaian keberhasilan, tetapi tidak akan mampu mencapai hasil maksimal kalau
tidak disertai karakter. Kita melihat sekarang keadaan masyarakat Indonesia
yang prestasinya tidak sebanding dengan kemampuan teknik dan penguasaan ilmu
pengetahun. Hal itu terutama karena pada waktu ini faktor karakter kurang
menjadi perhatian dalam penyelenggaraan pendidikan. Rendahnya patriotisme
adalah gambaran lemahnya karakter bangsa. Ini semua harus menjadi salah satu
hasil penting usaha pendidikan bangsa, baik dalam pendidikan dalam keluarga,
pendidikan sekolah maupun pendidikan dalam masyarakat. Akan tetapi karena
pendidikan pada anak paling dulu dilmulai dalam pendidikan dalam keluarga, maka
pendidikan dalam
keluarga yang seharusnya
memberikan landasan yang kemudian diperkuat dan dilengkapi
dalam pendidikan sekolah dan
pendidikan
dalam masyarakat.
Sudah amat perlu diadakan seruan, ajakan dan pemberian tauladan kepada para
orang tua untuk memperhatikan pendidikan yang harus mereka lakukan dalam
keluarga. Mungkin sekali banyak di antara para orang
tua merasa kurang mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Maka sangat penting
Pemerintah atau organisasi lain mengeluarkan Buku Pedoman yang dapat menjadi
pegangan bagi para orang tua
dalam melaksanakan
pendidikan dalam
keluarga.
Akhirnya memang tergantung pada para orang tua sendiri apakah pedoman itu
dilaksanakan atau tidak. Akan tetapi karena secara alamiah orang tua ingin
anaknya baik dan sukses, maka besar kemungkinan mayoritas orang tua akan
berusaha menerapkan pedoman itu
dalam hidup
mereka.
Pentingnya
Kerja Sama Orang Tua dan Sekolah dalam Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
4 10 2009
PENTINGNYA
KERJA SAMA ORANG TUA DAN SEKOLAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Oleh: Ilhamnorrahman, S.Pd.I.
1. Kewajiban Orang Tua
Terhadap Pendidikan Agama Anak
Setiap anak pada hakikatnya dilahirkan dalam keadaan fitrah, dengan kata lain
bahwa ia mempunyai modal dasar yang suci dalam dirinya. Untuk itu perlu
diarahkan dan dikembangkan agar mencapai kesempurnaan akhlak dan budi
pekertinya. Dalam hal ini Nabi bersabda :
كُلُّ مَوْلُدٍ يُوْلَدُ عَلى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَنِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ. (رواه البخارى)
Dari hadits tersebut di atas dapat dipahami bahwa anak menjadi Yahudi, Nasrani
atau Majusi atau bahkan tidak memiliki moral, semua tergantung dari orang
tuanya, sebabnya ialah karena perkembangan fitrah manusia itu banyak tergantung
kepada usaha pendidikan dalam bimbingan dan tanggung jawab orang tua. Maka
apabila ada anak yang tidak mendapatkan kesempatan sebaik-baiknya yang
mendukung perkembangan hidup keagamaannya, maka dia akan hidup menyimpang dari
jalan Islam. Kemampuan dasar beragama yang sesuai dengan fitrah pada setiap
individu tidak akan berkembang bilamana tidak mendapat bimbingan yang baik dan
benar.
Jadi sangat jelas bahwa orang tua memiliki tanggung jawab yang besar dalam
memberikan pendidikan agama bagi anak-anaknya. Sebab orang tualah yang memiliki
kewajiban atas pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dijelaskan
dalam firman Allah dalam Surah At Tahrim ayat 6 :
يآيَّهَاالَّذِيْنَ امَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ
وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلئِكَةٌ
غِلاظٌ شِدَادٌ لَّايَعْصُوْنَ اللهَ مااَمَرَهُمْ وَيَفْعَلوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ.
Orang tua adalah orang pertama dan utama yang wajib bertanggung jawab atas
pemeliharaan dan pendidikan, terutama pendidikan agama anak-anaknya. Tanggung
jawab pertama karena dalam keluarga inilah anak-anak pertama kali menyandarkan
hidup dan membutuhkan sentuhan kasih sayang pertama, mendapatkan bimbingan,
pengajaran dan pendidikan dari orang tuanya. Sebagai tanggung jawab terutama,
karena sebagian besar kehidupan anak adalah di dalam keluarga, sehingga
pendidikan dan bimbingan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dari
kedua orang tuanya. M. Sobry Sutikno mengemukakan bahwa:
Memberikan pendidikan agama sedini mungkin menjadi faktor utama pembentukan
karakter dan jiwa anak. Dengan agama akan tercapai keseimbangan lahir dan
batin. Pendidikan agama harus di tanamkan sejak kanak-kanak dengan membiasakan
anak bertingkah laku dan berakhlak sesuai ajaran agama. Pendidikan agama ini
mempunyai dua aspek penting: Pendidikan agama bertujuan menumbuhkan jiwa atau
pribadi yang syarat dengan muatan peraturan yang baik sesuai dengan ajaran
agama, Pendidikan agama merupakan pemenuhan aspek kognitif dari anak.
Senada dengan hal tersebut, Emi Nur
Hayati Ma’sum Sa’id juga mengemukakan bahwa:
Kedua orang tua harus memenuhi hak-hak anak dalam pendidikan agama. Agama dan
akal menghukumi bahwa kedua orang tua bertanggung jawab atas pendidikan
anak-anaknya. Kedua orang tua harus berusaha mendidik anaknya berdasarkan
program yang baik sehingga mereka tidak tersesat dan menjadi orang yang baik
serta berguna bagi agamanya. Untuk sampai pada tujuan ini orang tua memiliki
tugas berat yang ada di pundaknya. Langkah pertama yang harus dijalankan oleh
kedua orang tua adalah menjaga kesehatan dan kebersihan jasmani anak-anak,
kemudian baru mendidik mereka mengenai prinsip-prinsip moral dan akhlak. Kedua
orang tua hendaknya mendidik anaknya sehingga mereka dalam segala perilakunya
berasaskan ajaran agama dan keimanan kepada Allah yang Esa.
Kemudian Musleh Hery memberikan
gambaran tentang peran pendidikan agama bagi kehidupan anak, sebagai berikut:
Pendidikan agama berkisar antara dua dimensi hidup, yaitu penanaman rasa takwa
kepada Allah dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama. Penanaman rasa
takwa kepada Allah sebagai dimensi hidup dimulai dengan pelaksanaan
kewajiban-kewajiban formal agama yang berupa ibadah-ibadah. Sedangkan
pelaksanaannya harus disertai dengan penghayatan yang sedalam-dalamnya akan
makna ibadah-ibadah tersebut, sehingga ibadah-ibadah itu tidak dikerjakan
semata-mata sebagai ritual belaka, melainkan dengan keinsafan mendalam akan
fungsi edukatifnya.
Berdasarkan pendapat tersebut, bahwa
pendidikan agama kepada anak pada dasarnya adalah penanaman rasa takwa kepada
Allah SWT. Itu dilakukan melalui pembiasaan anak dalam melaksanakan ibadah
dengan penghayatan dan kesadarannya. Semua itu tentunya tidak akan berjalan
dengan sendirinya, jika orang tua tidak memiliki perhatian serius dalam
memberikan pendidikan agama bagi anak-anaknya.
2. Peranan Sekolah Terhadap Pendidikan Agama Anak
Sekolah adalah pendidikan formal, secara teratur dan terencana melakukan
pembinaan terhadap generasi muda. Oleh karena itu, peran sekolah juga sangat
penting dalam melaksanakan pendidikan terhadap anak. Dalam hal ini Amir Daien
Indrakusuma dalam buku Pengantar Ilmu Pendidikan mengatakan :
Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga
terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Oleh
karena itu anak dikirimkan ke sekolah. Dengan demikian, sebenarnya pendidikan
di sekolah adalah bagian dari pendidikan dalam keluarga yang sekaligus juga
merupakan lanjutan dari pendidikan dalam keluarga, sehingga di sekolah adalah
merupakan jembatan bagi anak, yang menghubungkan kehidupan dalam keluarga
dengan kehidupan dalam masyarakat kelak.
Dalam hal pendidikan agama Islam
peran sekolah juga penting, khususnya guru agama yang memberikan pendidikan
agama kepada mereka. Secara umum guru agama berperan menumbuhkan mentalitas
beragama pada anak didiknya, dan secara khusus memberikan pelajaran agama
sesuai dengan bidang studi yang diajarkan.
Selain itu, guru agama juga perlu menjalin kerja sama dengan pihak orang tua
murid, sehingga permasalahan yang mereka hadapi dapat diatasi secara bersama
pula. Hal ini jauh lebih baik dari pada guru atau orang tua bekerja
sendiri-sendiri dalam mendidik anak.
Kaitannya dengan pendidikan agama terhadap anak, fungsi guru antara lain :
a. Guru adalah sebagai pembantu orang tua dalam mendidik anaknya. Untuk itu
guru harus tidak segan-segan berhubungan dengan orang tua/walinya, sebab diakui
bahwa orang tuanyalah yang paling mengetahui keadaan hidup kejiwaan anak. Di
samping itu juga orang tua dan keluarga pengaruhnya lebih besar pada anak dalam
pertumbuhan psikis, karena kecuali anak lebih lama tinggal di dalamnya, juga
dari segi psikologi mereka tertarik pada tingkah laku orang tua serta
keluarganya.
b. Guru sebagaimana orang tua berkewajiban membantu perkembangan kodrat anak ke
arah kemampuan hidup bermasyarakat, kemandirian dan bermoral tinggi.
c. Di samping itu guru juga sebagai seorang yang berilmu pengetahuan dan dengan
pengetahuannya itu ia mengajar anak didik agar menjadi orang yang berilmu.
Khusus bagi guru-guru agama, di samping ia harus menguasai ilmu agama juga
perlu memiliki ilmu pengetahuan umum.
Agar anak didik sadar dan taat beragama, tentu peranan guru agama sangat
penting. Karena dalam kegiatan belajar mengajar agama yang dilakukannya banyak
pengaruhnya terhadap anak didik. Untuk itu guru agama perlu terus meningkatkan
kemampuan profesionalnya sebagai guru agama, sehingga pelajaran yang ia berikan
dapat menarik bagi anak dan dapat pula menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam
diri anak didiknya.
3. Hubungan Orang Tua dan Sekolah dalam Pendidikan
Agama
Bertitik tolak dari hak dan tanggung jawab pendidikan agama, baik orang tua
maupun guru agama, keduanya sama-sama mempunyai kewajiban dalam mendidik anak.
Orang tua berfungsi sebagai pendidik dalam keluarga dan guru yang bertanggung
jawab di lembaga formal, yaitu sekolah. Namun pada hakikatnya keduanya
mempunyai tujuan yang sama, yaitu membimbing anak ke arah kedewasaan dengan
menanamkan nilai-nilai agama, agar nanti setelah dewasa anak mampu mengamalkan
ajaran-ajaran agama Islam, sehingga tercipta kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat kelak.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan hubungan dan kerja sama yang baik antara
orang tua dan guru, terutama dalam pendidikan agama. Dalam hal ini Didin
Hafidhuddin dalam buku Membentuk Pribadi Qurani, mengatakan, “Tentu sangat
ideal apabila lingkungan pendidikan pertama (keluarga) mampu bekerja sama
secara harmonis dengan lingkungan pendidikan kedua, yakni sekolah. Kerja sama
antara orang tua dan para guru di sekolah merupakan suatu keniscayaan.”
Kerja sama antara orang tua dan sekolah sangatlah penting. Sebab dengan adanya
kerja sama tersebut, tujuan pendidikan anak dapat direalisasikan. Hery Noer Aly
dan Munzier S. Menyatakan:
Pengajaran apapun yang diberikan kepada anak di sekolah tidak mungkin dapat
merealisasikan tujuan apabila tidak ada suasana saling menolong, melengkapi,
dan koordinasi antara keluarga dan sekolah. Agar pengaruh pengajaran yang
diterima anak di sekolah terus berkesinambungan, dan sesudah itu tingkah laku
anak berubah ke arah yang benar, para orang tua hendaknya bekerja sama dengan
sekolah untuk mencapai tujuan. Sekolah tanpa bantuan keluarga tidak akan mampu
merealisasikan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Dari kerja sama tersebut, orang tua
akan dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman dari guru dalam hal mendidik
anak-anak mereka. Sebaliknya, para guru pun dapat pula meminta
keterangan-keterangan dari orang tua tentang pendidikan dan sifat-sifat anak.
Keterangan itu sangat penting bagi guru dalam menerapkan pendidikan di sekolah.
Hubungan
sekolah dan masyarakat — Presentation Transcript
- 1. Hubungan Sekolah dan Masyarakat Sri sundari
Spd.;Mpd. FKIP UNIVERSITAS GRESIK
- 2. PENGERTIAN
- 3. ASAS KERJA HUBUNGAN SEKOLAH DAN MASYARAKAT
- 4. KEGIATAN
- 5. FAKTOR PENDUKUNG Adanya program dan perencanaan yang
sistematis Tersedia basis dokumentasi yang lengkap Tersedia tenaga ahli,
terampil, dan alat sarana serta dana yang memadai Kondisi organisasi
sekolah yang memungkinkan untuk meningkatkan kegiatan hubungan sekolah
dengan masyarakat
- 6. FUNGSI Mengatur hubungan sekolah dengan orang tua
Memelihara hubungan baik dengan komite sekolah Memelihara dan
mengembangkan hubungan sekolah dengan lembaga-lembaga pemerintah, swasta
dan organisasi nasional. Memberi pengertian kepada masyarakat tentang
fungsi sekolah melalui bermacam-macam teknik komunikasi
- 7. BENTUK OPERASIONAL
- 8. TUJUAN MEMBERI PENJELASAN TENTANG KEBIJAKSANAAN
PENYELENGGARAAN SEKOLAH MENAMPUNG SARANA DAN PENDAPAT DARI WARGA SEKOLAH
MEMELIHARA HUBUNGAN ANTAR WARGA SEKOLAH
- 9. PRINSIP (T-E-A-M W-O-R-K) Menurut Fasli Jalal dan
Dedy Supriyadi (2001), prinsip humas disingkat menjadi TEAMWORK
- 10. PRINSIP
- 11. PRINSIP
- 12. PRINSIP
- 13. MANFAAT ADANYA SALING PENGERTIAN ANTARA SEKOLAH
DENGAN PIHAK LUAR ADANYA KEGIATAN YANG MEMBANTU KARENA MENGETAHUI MANFAAT,
ARTI, DAN PENTINGNYA PERANAN MASING-MASING ADANYA KERJASAMA YG ERAT DGN
MASING-MASING PIHAK DAN MERASA IKUT BERTANGGUNGJAWAB ATAS SUKSESNYA USAHA
PIHAK LAIN.
·
·
Pendidikan
adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah, orangtua, dan masyarakat. Tanpa
dukungan masyarakat, pendidikan tidak akan berhasil dengan maksimal. Sekarang
hampir semua sekolah telah mempunyai komite sekolah yang merupakan wakil
masyarakat dalam membantu sekolah, sebab masyarakat dari berbagai lapisan sosial
ekonomi sudah sadar betapa pentingnya dukungan mereka untuk keberhasilan
pembelajaran di sekolah.
Sebetulnya banyak sekali jenis-jenis dukungan masyarakat pada sekolah. Namun
sampai sekarang dukungan tersebut lebih banyak pada bidang fisik dan materi,
seperti membantu pembangunan gedung, merehab sekolah, memperbaiki genting, dan
lain sebagainya. Masyarakat juga dapat membantu dalam bidang teknis edukatif
antara lain menjadi guru bantu, sumber informasi lain, guru pengganti, mengajar
kebudayaan setempat, ketrampilan tertentu, atau sebagai pengajar tradisi
tertentu. Namun demikian, hal tersebut belumlah terwujud karena berbagai
alasan.
Pada dasarnya masyarakat baik yang mampu maupun yang tidak mampu, golongan
atas, menengah maupun yang bawah, memiliki potensi yang sama dalam membantu
sekolah yang memberikan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Akan tetapi hal ini
bergantung pada bagaimana cara sekolah mendekati masyarakat tersebut. Oleh
karena itu, sekolah harus memahami cara mendorong peran serta masyarakat agar
mereka mau membantu sekolah.
Tulisan ini berikhtiar membicarakan tiga hal antara lain; pentingnya peran
serta masyarakat utamanya peran stakeholder bagi pengembangan madrasah;
jenis-jenis peran serta masyarakat, serta cara mendorong peran serta masyarakat.
Dari sini diharapkan muncul pokok-pokok gagasan setelah melalui proses diskusi
dan simulasi yang mencakup munculnya identifikasi stakeholder (baca: kelompok
masyarakat) dalam dalam membantu pendidikan; terinventarisasinya jenis-jenis
PSM; serta teridentifikasinya beberapa cara mendorong peran serta masyarakat.
Mengapa PSM itu perlu?
• Pendidikan adalah tanggungjawab bersama keluarga,
masyarakat, dan negara;
• Keluarga bertanggungjawab untuk mendidik moralitas/agama,
menyekolahkan anaknya, serta membiayai keperluan pendidikan anaknya;
• Anak berada di sekolah antara 6-9 jam, selebihnya berada di
luar sekolah (rumah dan lingkungannya). Dengan demikian, tugas keluarga amat
penting untuk menjaga dan mendidik anaknya;
• Pendidikan adalah investasi masa depan anak. Oleh karena
itu, memerlukan biaya, tenaga dan perhatian. Keberatankah orang tua membayar
SPP yang sifatnya bulanan, sedang mereka saja tidak berat untuk membeli rokok
setiap hari? Mungkinkah anak menjadi pandai tanpa biaya? Harusnya kita sadar,
kita sedang memasuki era globalisasi, dan jika anak kita tidak terdidik, kita
akan kalah bersaing dengan bangsa lain.
• Anak perempuan perlu mendapat pendidikan setinggi anak
laki-laki mengingat mereka akan menjadi ibu dari bayi-bayinya. Ibu lebih dekat
kepada anak dan mendidik anak perlu pengetahuan yang memadai agar anak tidak
salah asuhan/didik;
• Masyarakat berhak dan berkewajiban untuk mendapatkan dan
mendukung pendidikan yang baik. Kewajiban mereka tidak sebatas pada bantuan
dana, lebih dari itu juga pemikiran dan gagasan;
• Pemerintah berkewajiban membuat gedung sekolah, menyediakan
tenaga/guru, melakukan standarisasi kurikulum, menjamin kualitas buku paket,
alat peraga, dan lain sebagainya. Karena kemampuan pemerintah terbatas, maka peran
serta masyarakat sanga diperlukan;
• Kemampuan pemerintah terbatas sehingga mungkin tidak mampu
untuk mengetahui secara rinci nuansa perbedaan di masyarakat yang berpengaruh
pada bidang pendidikan. Jadi masyarakat berkewajiban membantu penyelenggaraan
pendidikan;
• Masyarakat dapat terlibat dalam memberikan bantuan dana,
pembuatan gedung, lokal, pagar, dan lain sebagainya. Masyarakat juga dapat
terlibat dalam bidang teknis edukatif.
• Idealnya sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah dan
juga kepada masyarakat sekitarnya;
• Bantuan teknis edukatif juga sangat mungkin diberikan,
seperti: menyediakan diri menjadi tenaga pengajar, membantu anak berkesulitan
membaca, menentukan dan memelihara guru baru yang mempunyai kualifikasi, serta
membicarakan pelaksanaan kurikulum dan kemajuan belajar.
Jenis-jenis PSM
Ada bermacam-macam tingkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan
pendidikan. Peran serta tersebut dapat diklasifikasikan dalam 7 tingkatan, yang
dimulai dari tingkat terendah ke tingkat tertinggi. Tingkatan tersebut terinci
sebagai berikut:
1. Peran serta dengan menggunakan jasa yang tersedia. Jenis
PSM ini merupakan jenis paling umum. Masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah
dengan memasukkan anak ke sekolah;
2. Peran serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan
tenaga. Masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan pembangunan fisik sekolah
dengan menyumbangkan dana, barang dan atau tenaga;
3. Peran serta secara pasif. Artinya menyetujui dan menerima
apa yang diputuskan oleh sekolah (komite sekolah), misalnya komite sekolah
memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi anaknya yang bersekolah dan
orangtua menerima keputusan tersebut dengan mematuhinya;
4. Peran serta melalui adanya konsultasi. Orangtua datang ke
sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang dialami anaknya;
5. Peran serta dalam pelayanan. Orantua/masyarakat terlibat
dalam kegiatan sekolah, misalnya orangtua ikut membantu sekolah ketika ada
studi banding, kegiatan pramuka, kegiatan keagamaan, dan lain sebagainya;
6. Peran serta sebagai pelaksana kegiatan yang
didelegasikan/dilimpahkan. Misalnya, sekolah meminta orangtua/masyarakat untuk
memberikan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan, masalah gender, gizi dan
lain sebagainya.
7. Peran serta dalam pengambilan keputusan.
orangtua/masyarakat terlibat dalam pembahasan masalah pendidikan (baik akademis
maupun non akademis) dan ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam rencana
pengembangan sekolah.
Menuju Otonomi pada Tingkat Sekolah; Ikhtiar Memberdayakan Komite Sekolah
sebagi Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan
“Komite Sekolah/Madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan”. (Pasal 56, ayat 3 UU Nomor 20 Tahun 2003)
Paradigma MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju
peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi, partisipasi, dan
akuntabilitas pendidikan. Kepala sekolah, guru, dan masyarakat adalah
pelaku utama dan terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah sehingga
segala keputusan mengenai penanganan persoalan pendidikan pada tingkatan mikro
harus dihasilkan dari interaksi dari ketiga pihak tersebut. Masyarakat adalah
stakeholder pendidikan yang memiliki kepentingan akan berhasilan pendidikan di
sekolah, karena mereka adalah pembayar pendidikan, baik melalui uang sekolah
maupun pajak, sehingga sekolah-sekolah seharusnya bertanggungjawab terhadap
masyarakat.
Namun demikian, entitas yang disebut “masyarakat” itu sangat kompleks dan tak
berbatas (borderless) sehingga sangat sulit bagi sekolah untuk berinteraksi
dengan masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Untuk penyelenggaraan
pendidikan di sekolah, konsep masyarakat itu perlu disederhanakan (simplified)
agar menjadi mudah bagi sekolah melakukan hubungan dengan masyarakat itu.
Penyederhanaan konsep masyarakat itu dilakukan melalui “perwakilan” fungsi
stakeholder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah (KS) pada setiap sekolah dan
Dewan Pendidikan (DP) di setiap kabupaten/kota. DP-KS sedapat mungkin bisa
merepresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat mewakili
masyarakat. Dengan demikian, interaksi antara sekolah dan masyarakat dapat
diwujudkan melalui mekanisme pengambilan keputusan antara sekolah-sekolah
dengan Komite Sekolah, dan interaksi antara para pejabat pendidikan di
pemerintah kabupaten/kota dengan Dewan Pendidikan. Bukti tanggungjawab
masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam fungsi yang melekat pada DP dan
KS, yaitu fungsi pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, fungsi
kontrol dan akuntabilitas publik, fungsi pendukungan (supports), serta fungsi
mediator antara sekolah dengan masyarakat yang diwakilinya.
Kemandirian setiap satuan pendidikan adalah salah satu sasaran dari kebijakan
desentralisasi pendidikan sehingga sekolah-sekolah menjadi lembaga yang otonom
dengan sendirinya. Namun tentu saja, pergeseran menuju sekolah-sekolah yang
otonom adalah jalan panjang sehingga memerlukan berbagai kajian serta
perencanaan yang hati-hati dan mendalam. Jalan panjang ini tidak selalu mulus,
tetapi akan menempuh jalan terjal yang penuh dengan onak dan duri. Orang bisa
saja mengatakan bahwa paradigma baru untuk mewujudkan pengelolaan pendidikan
yang demokratis dan partisipatif, tidak dapat dilaksanakan di dalam suatu
lingkungan birokrasi yang tidak demokratis. Namun, pengembangan demokratisasi
pendidikan tidak harus menunggu birokrasinya menjadi demokratis dulu, tetapi
harus dilakukan secara simultan dengan konsep yang jelas dan transparans.
Pelaksanaan desentralisasi pendidikan sebaiknya tidak dilakukan melalui suatu
mekanisme penyerahan “kekuasaan birokrasi” dari pusat ke daerah, karena
kekuasaan telah terbukti gagal dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu.
Melalui strategi “desentralisasi pemerintahan di bidang pendidikan”, Depdiknas
tidak hanya berkepentingan dalam mengembangkan kabupaten/kota dalam mengelola
pendidikan, tetapi juga berkepentingan dsalam mewujudkan otonomi satuan
pendidikan, Depdiknas memiliki keleluasaan untuk membangun kapasitas setiap
penyelenggara pendidikan, yaitu sekolah-sekolah. MBS mengembangkan
satuan-satuan pendidikan secara otonom karena mereka adalah pihak yang paling
mengetahui operasional pendidikan. Sesuai dengan strategi ini sekolah bukan
bawahan dari birokrasi pemerintah daerah, tetapi sebagai lembaga profesional
yang bertanggung jawab terhadap klien atau stakeholder yang diwakili oleh
Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. Keberhasilan pendidikan di sekolah tidak
diukur dari pendapat para birokrat, tetapi dari kepuasan masyarakat atau
stakeholder. Fungsi pemerintah adalah fasilitator untuk mendorong
sekolah-sekolah agar berkembang menjadi lembaga profesional dan otonom sehingga
mutu pelayanan mereka memberi kepuasan terhadap komunitas basisnya, yaitu
masyarakat.
Perlu juga difahami bahwa pengembangan paradigma MBS, bukanlah kelanjutan
apalagi “kemasan baru” dari Badan Pembantu Pelaksanaan Pendidikan (BP3). Adalah
keliru jika DP dan KS adalah alat untuk “penarikan iuran”, karena “penarikan
iuran” yang dilakukan oleh BP3 terbukti tidak berhasil memobilisasi partisipasi
dan tanggungjawab masyarakat. Tetapi yang harus lebih difahami adalah fungsi
Dewan dan Komite sebagai jembatan antara sekolah dan masyarakat. Sekolah yang
hanya terbatas personalianya, akan sangat dibantu jika dibuka kesempatan bagi
masyarakat luas untuk ikut memikirkan pendidikan di sekolah-sekolah. Sekolah
yang sangat tertutup bagi kontribusi pemikiran dari masyarakat harus kita
akhiri, dan dengan MBS, dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk
ikut serta memikirkan pendidikan di sekolah. Dengan konsep MBS, masyarakat akan
merasa memiliki dan mereka akan merasa tanggungjawab untuk keberhasilan
pendidikan di dalamnya. Jika ini dapat diwujudkan, jangankan “iuran” bahkan
apapun yang mereka miliki (uang, barang, tenaga, fikiran bahkan kesempatan)
akan mereka abdikan untuk kepentingan pendidikan anak-anak bangsa yang
berlangsung di sekolah-sekolah.
Pengelolaan Pendidikan pada tingkat Sekolah
Peran dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tidak dapat dipisahkan
dari pelaksanaan manajemen pendidikan di tingkat sekolah. Beberapa aspek
manajemen yang secara langsung dapat diserahkan sebagai urusan yang menjadi
kewenangan tingkat sekolah adalah sebagai berikut.
Pertama, menetapkan visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib
sekolah. Urusan ini amat penting sebagai modal dasar yang harus dimiliki
sekolah. Setiap sekolah seyogyanya telah dapat menyusun dan menetapkan sendiri
visi, misi, strategi, tujuan, logo, lagu, dan tata tertib sekolah. Ini
merupakan bukti kemandirian awal yang harus ditunjukkan oleh sekolah. Jika masa
lalu sekolah lebih dipandang sebagai lembaga birokrasi yang selalu menunggu
perintah dan petunjuk dari atas, dalam era otonomi daerah ini sekolah harus
telah memiliki kesadaran untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Sudah barang
tentu, sekolah harus menjalin kerjasama sebaik mungkin dengan orangtua dan
masyarakat sebagai mitra kerjanya. Bahkan dalam menyusun program kerjanya,
sebagai penjabaran lebih lanjut dari visi, misi, strategi, dan tujuan sekolah
tersebut, orangtua dan masyarakat yang tergabung dalam Komite Sekolah, serta
seluruh warga sekolah harus dilibatkan secara aktif dalam menyusun program
kerja sekolah, dan sekaligus lengkap dengan Rencana Anggaran Pendapatan dan
Belanja Sekolah (RAPBS).
Kedua, memiliki kewenangan dalam penerimaan siswa baru sesuai dengan ruang
kelas yang tesedia, fasilitas yang ada, jumlah guru, dan tenaga administratif
yang dimiliki. Berdasarkan sumber daya pendukung yang dimilikinya, sekolah
secara bertanggung jawab harus dapat menentukan sendiri jumlah siswa yang akan
diterima, syarat siswa yang akan diterima, dan persyaratan lain yang terkait.
Sudah barang tentu, beberapa ketentuan yang ditetapkan oleh dinas pendidikan
kabupaten/kota perlu mendapatkan pertimbangan secara bijak.
Ketiga, menetapkan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang akan
diadakan dan dilaksanakan oleh sekolah. Dalam hal ini, dengan mempertimbangkan
kepentingan daerah dan masa depan lulusannya, sekolah perlu diberikan
kewenangan untuk melaksanakan kurikulum nasional dengan kemungkinan menambah
atau mengurangi muatan kurikulum dengan meminta pertimbangan kepada Komite
Sekolah. Kurikulum muatan lokal, misalnya dalam mengambil kebijakan untuk
menambah mata pelajaran seperti Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya,
komputer, dsb. Sudah barang tentu, kebijakan itu diambil setelah meminta
pertimbangan dari Komite Sekolah, termasuk resiko anggaran yang diperlukkan
untuk itu. Dalam kaitannya dengan penetapan kegiatan ekstrakurikuler, sekolah
juga harus meminta pendapat siswa dalam menentukan kegiatan ekstrakurikuler
yang akan diadakan oleh sekolah.
Oleh karena itu sekolah dapat melakukan pengelolaan biaya operasio-nal sekolah,
baik yang bersumber dari pemerintah Kabupaten/Kota maupun dari masyarakat
secara mandiri. Untuk mendukung program sekolah yang telah disepakati oleh
Komite Sekolah diperlukan ketepatan waktu dalam pencairan dana dari pemerintah
kabupaten/kota. Oleh kaarena itu praktik birokrasi yang menghambat kegiatan
sekolah harus dikurangi.
Keempat, pengadaan sarana dan prasana pendidikan, termasuk buku pelajaran dapat
diberikan kepada sekolah, dengan memperhatikan standar dan ketentuan yang ada.
Misalnya, buku murid tidak seenaknya diganti setiap tahun oleh sekolah, atau
buku murid yang akan dibeli oleh sekolah adalah yang telah lulus penilaian,
dsb. Pemilihan dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah dapat
dilaksanakan oleh sekolah, dengan tetap mengacu kepada standar dan pedoman yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau provinsi dan kabupaten/kota.
Kelima, penghapusan barang dan jasa dapat dilaksanakan sendiri oleh sekolah,
dengan mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah, provinsi, dan
kabupaten. Yang biasa terjadi justru, karena kewenangan penghapusan itu tidak
jelas, barang dan jasa yang ada di sekolah justru tidak pernah dihapuskan,
meskipun ternyata barang dan jasa itu sama sekali telah tidak berfungsi atau
malah telah tidak ada barangnya.
Keenam, proses pengajaran dan pembelajaran. Ini merupakan kewenangan
profesional sejati yang dimiliki oleh lembaga pendidikan sekolah. Kepala
sekolah dan guru secara bersama-sama merancang proses pengajaran dan
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan lancar dan
berhasil. Proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan
direkomendasikan sebagai model pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh sekolah.
Pada masa sentralisasi pendidikan, proses pembelajaran pun diatur secara rinci
dalam kurikulum nasional. Dalam era otonomi daerah, kurikulum nasional sedang
dalam proses penyempurnaan menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
Dengan KBK ini, diharapkan para guru tidak akan terpasung lagi kreativitasnya
dalam melaksanakan dan mengembangkan kurikulum.
Ketujuh, urusan teknis edukatif yang lain sejalan dengan konsep manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) merupakan urusan yang sejak awal harus
menjadi tanggung jawab dan kewenagan setiap satuan pendidikan.
Pemberdayaan Komite Sekolah
Desentralisasi pendidikan di tingkat sekolah merupakan satu bentuk
desentraliasasi yang langsung sampai ke ujung tombak pendidikan di lapangan.
Jika kantor cabang dinas pendidikan kecamatan, dan dinas pendidikan
kabupaten/kota lebih memiliki peran sebagai failitator dalam proses pembinaan,
pengarahan, pemantauan dan penilaian, maka sekolah seharusnya diberikan peran
nyata dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. Hal ini disebabkan
karena proses interaksi edukatif di sekolah merupakan inti dari proses
pendidikan yang sebenarnya. Oleh karena itu, bentuk desentralisasi pendidikan
yang paling mendasar adalah yang dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan
Komite Sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat, dan dengan
menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan
pendidikan secara nyata di dalam masyarakat.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional (Propenas) 2000-2004, dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan peran
serta masyarakat perlu dibentuk Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota, dan
Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan. Amanat rakyat ini sejalan dengan konsepsi
desentralisasi pendidikan, baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat
sekolah. Amanat rakyat dalam undang-undang tersebut telah ditindaklanjuti
dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April
2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam Kepmendiknas tersebut
disebutkan bahwa peran yang harus diemban Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah
adalah (1) sebagai advisory agency (pemberi pertimbangan), (2) supporting
agency (pendukung kegiatan layanan pendidikan), (3) controlling agency
(pengontrol kegiatan layanan pendidikan), dan (4) mediator atau penghubung atau
pengait tali komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah
Untuk dapat memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat, sekolah harus
dapat membina kerjasama dengan orangtua dan masyarakat, menciptakan suasa
kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah. Itulah sebabnya
maka paradigma MBS mengandung makna sebagai manajemen partisipatif yang
melibatkan peran serta masyarakat, sehingga semua kebijakan dan keputusan yang
diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama, untuk mencapai keberhasilan
bersama. Dengan demikian, prinsip kemandirian dalam MBS adalah kemandirian
dalam nuansa kebersamaan, dan hal ini merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip
yang disebut sebagai total quality management, melalui suatu mekanisme yang
dikenal dengan konsepsi total football dengan menekankan pada mobilisasi
kekuatan secara sinergis yang mengarah pada satu tujuan, yaitu peningkatan mutu
dan kesesuaian pendidikan dengan pengembangan masyarakat.
Pertama, Penyusunan Rencana dan Program; sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan
pendidikan, sekolah bertanggungjawab dalam menentukan kebijakan sekolah dalam
melaksanakan kebijakan pendidikan sesuai dengan arah kebijakan pendidikan yang
telah ditentukan oleh pemerintah. Sebagai penyelenggara dan pelaksana kebijakan
pendidikan nasional, sekolah-sekolah bertugas untuk menjabarkan kebijakan
pendidikan nasional menjadi program-program operasional penyelenggaraan
pendidikan di masing-masing sekolah. Program-program tersebut terdiri dari
penyusunan dan pelaksanaan rencana kegiatan mingguan, bulanan, semesteran
serta tahunan yang sesuai dengan arah kebijakan serta kurikulum yang telah
ditetapkan baik pada tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota. Setiap
rencana dan program yang disusun serta dilaksanakan di sekolah harus mengacu
pada standar pelayanan minimum (SPM) yang diterapkan untuk pemerintahan
kabupaten/kota serta standar teknis yang diterapkan untuk masing-masing satuan
pendidikan. Untuk dapat memerankan fungsi ini, Komite Sekolah menjadi
“pendamping” bahkan “penyeimbang” bagi sekolah-sekolah, sehingga setiap rencana
dan program yang disusun oleh sekolah dapat diberikan masukan yang sesuai
dengan aspirasi masyarakat yang diwakili oleh Komite sekolah dimaksud. Atas
nama masyarakat yang diwakilinya, Komite Sekolah dapat menyatakan “setuju” atau
“tidak setuju” terhadap rencana dan program pendidikan yang disusun oleh
sekolah.
Selain melaksanakan kurikulum yang telah ditetapkan dari pusat, propinsi dan
kabupaten.kota, sekolah-sekolah dapat juga menyusun program pendidikan life
skills yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pada masyarakat sekitar. Dalam
penyusunan program pendidikan “life skills”, Komite Sekolah dapat membantu
sekolah-sekolah untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai kebutuhan serta potensi
sumberdaya yang tersedia di dalam masyarakat untuk diterjemahkan ke dalam
program pendidikan “life skills” yang dapat dilaksanakan oleh sekolah.
Mekanisme yang mungkin dapat dilakukan adalah melalui rapat Komite Sekolah
dengan sekolah yang dilaksanakan setiap semester atau tahunan, untuk menyusun,
memperbaiki serta menyesuaikan rencana dan program untuk semester berikutnya.
Kedua, Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS);
dalam fungsinya sebagai pelaksana pendidikan yang otonom, sekolah berperan
dalam menyusun RAPBS setiap akhir tahun ajaran untuk digunakan dalam tahun
ajaran berikutnya. Program-program yang sudah dirumuskan untuk satu semester atau
satu tahun ajaran kedepan perlu dituangkan ke dalam kegiatan-kegiatan
serta anggarannya masing-masing sesuai dengn pos-pos pengeluaran pendidikan di
tingkat sekolah. Dari sisi pendapatan, seluruh jenis dan sumber pendapatan yang
diperoleh sekolah setiap tahun harus dituangkan dalam RAPBS, baik yang
bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah
kabupaten/kecamatan, maupun sumber-sumber lain yang diperoleh secara langsung
oleh sekolah-sekolah. Dengan demikian, setiap rupiah yang diperoleh
sekolah dari sumber-sumber tersebut harus sepenuhnya diperhitungkan sebagai
pendapatan resmi sekolah dan diketahui bersama baik oleh pihak sekolah (kepala
sekolah, guru-guru, pegawai, serta para siswa) maupun oleh Komite Sekolah
sebagai wakil stakeholder pendidikan.
Dari sisi belanja sekolah, seluruh jenis pengeluaran untuk kegiatan pendidikan
di sekolah harus diketahui bersama baik oleh pihak sekolah maupun oleh pihak
Komite Sekolah, sesuai dengan rencana dan program yang telah disusun bersama
oleh kedua pihak tersebut. Kedua sisi anggaran tersebut dituangkan ke dalam
suatu neraca tahunan sekolah yang disebut dengan RAPBS yang harus disyahkan
atas dasar persetujuan bersama antara pihak sekolah dan Komite Sekolah yang
ditandatangani oleh kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah, sehingga menjadi
APBS pendidikan di tingkat sekolah yang resmi. Mekanisme ini diperlukan untuk
memperkecil penyalahgunaan baik dalam pendapatan maupun dalam pengeluaran
sekolah, sehingga anggaran resmi pendidikan di sekolah menjadi bertambah serta
pendayagunaannya semakin efisien.
Ketiga, pelaksanaan program pendidikan; sistem pendidikan pada masa orde baru,
pelaksanaan pendidikan secara langsung dikendalikan oleh sistem birokrasi
dengan mata rantai yang panjang sejak tingkat pusat, daerah bahkan sampai
tingkat satuan pendidikan. Pada waktu itu sekolah-sekolah adalah bagian dari
sistem birokrasi yang haru tunduk terhadap ketentuan birokrasi. Pengaturan
penyelenggaraan pendidikan pada masa birokrasi dilakukan secara uniform (one fits
for all) atau dilakukan secara baku dengan pangaturan dari pusat, sejak
perencanaan pendidikan, pelaksanaan pendidikan di sekolah termasuk persiapan
mengajar, metodologi dan pendekatan mengajar, buku dan sarana pendidikan,
sampai kepada penilaian pendidikan. Dengan kata lain, kepada sekolah-sekolah
tidak diberikan kesempatan untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri dalam
pelaksanaan pendidikan. Kepala sekolah tidak diberikan kesempatan untuk
mengambil keputusan mereka sendiri dalam mengelola sistem pendidikan untuk
memecahkan berbagai permasalahan pendidikan yang sesuai dengan kondisi
sekolahnya masing-masing. Kepada guru-guru juga tidak diberikan
kesempatan untuk berinisiatif atau berinovasi dalam melaksanakan pengajaran
atau mengelola kegiatan belajar murid secara maksimal karena metoda mengajar
dan teknik evaluasi juga diatur secara langsung melalui juklak dan juknis yang
dibuat dari pusat.
Dalam masa desentralisasi pendidikan ke depan, melalui paradigma MBS
sekolah-sekolah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengurus dan mengatur
pelaksanaan pendikdikan pada masing-masing sekolah. Pelaksanaan pendidikan di
sekolah-sekolah dalam tempat yang berlainan dimungkinkan untuk menggunakan
sistem dan pendekatan pembelajaran yang berlainan. Kepala sekolah diberikan
keleluasaan untuk mengelola pendidikan dengan jalan mengadakan serta
memanfaatkan sumber-sumberdaya pendidikan sendiri-sendiri asalkan sesuai dengan
kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh pusat. Oleh karena karakteristik
setiap murid juga berbeda-beda secara individual, maka pendekatan pembelajaran
juga dimungkinkan berbeda untuk masing-masing murid yang berlainan.
Dalam keadaan seperti itu, maka Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah akan dapat
melaksanakan peran dan fungsinya sebagai penunjang dalam pelaksanaan proses
pembelajaran yang sejalan dengan kondisi dan permasalahan lingkungan
masing-masing sekolah. Komite sekolah dapat melaksanakan fungsinya
sebagai partner dari kepala sekolah dalam mengadakan sumber-sumberdaya
pendidikan dalam rangka melaksanakan pengelolaan pendidikan yang dapat
memberikan fasilitasi bagi guru-guru dan murid untuk belajar sebanyak munghkin,
sehingga pembelajaran menjadi semakin efektif. Komite Sekolah bisa ikut
serta untuk meneliti dan berbagai permasalahan belajar yang dihadapi oleh murid
secara kelompok maupun secara individual sehingga dapat membantu guru-guru
untuk menerapkan pendekatan belajar yang tepat bagi murid-muridnya. Dewan
Pendidikan pada setiap Kabupaten/Kota dapat melaksanakan program pendukungan
dalam bentuk studi atau penelitian terhadap berbagai permasalahan pendidikan di
sekolah-sekolah agar dapat memberikan masukan kepada Dinas Kabupaten/Kota untuk
menerapkan suatu kebijakan yang tepat dan kena sasaran. Dewan Pendidikan
juga dapat memberikan penilaian kepada berbagai kebijakan pendidikan yang
diterapkan terutama menyangkut berbagai dampak yang sudah atau mungkin terjadi
dalam penerapaan suatu kebijakan baru.
Keempat, akuntabilitas pendidikan, dalam masa orde baru, satu-satunya pihak
yang berwenang untuk meminta pertanggungjawaban pendidikan ke sekolah-sekolah
adalah pemerintah pusat. Pada waktu itu, pemerintah pusat telah
menempatkan “kaki tangan”nya di seluruh pelosok tanah air melalui pemeriksa,
pengawas atau para penilik sekolah untuk mengawasi dan meminta
pertanggungjawaban sekolah-sekolah menganai proses pendidikan yang berkangsung
di sekolah-sekolah. Jika terdapat “penyimpangan adminisgtratif” yang dilakukan
oleh kepala sekolah atau guru-guru, maka kepada mereka diberikan sanksi
administratif, seperti teguran resmi, penilaian melalui DPK, penundaan kenaikan
gaji berkala, penundaan kenaikan pangkat dsan sejenisnya. Namun, penilalaian
tersebut lebih banyak diberikan terhadap proses administrasi pendidikan dan
hampir tidak pernah ada sanksi (punishment) atau “ganjaran” (rewards) kepada
guru-guru atau kepala sekolah atas dasar hasil-hasil yang dicapai dalam
pembelajaran murid atau lulusan.
Dalam era demokrasi dan partisipasi, akuntabilitas pendidikan tidak hanya
terletak pada pemerintah, tetapi bahkan harus lebih banyak pada masyarakat
sebagai stakeholder pendidikan. Dewan Pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota
perlu menempatkan fungsinya sebagai wakil dari masyarakat untuk meminta
pertanggungjawaban atas hasil-hasil pendidikan dalam mencapai prestasi belajar
murid-murid pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Dewan Pendidikan
perlu diberikan kesempatan untuk menyampaikan masukan bahkan “protes” kepada
Dinas Pendidikan jika hasil-hasil pendidikannya tidak memuaskan masyarakat
sebagai klien pendidikan. Sama halnya, Komite Sekolah dapat menyampaikan
ketidakpuasan para orangtua murid akan rendahnya prestasi yang dicapai oleh
suatu sekolah. Dewan Pendidikan atau Komite Sekolah tidak perlu
melaksanakan kegiatan studi atau penilaian pendidikan, tetapi cukup dengan
menggunakan data-data yang tersedia atau hasil-hasil penilaian yang sudah ada
sebagai bahan untuk menyampaikan kepuasan atau ketidakpuasan masyarakat
terhadap Dinas Pendidikan atau kepada masing-masing sekolah. Dengan demikian,
diperlukan suatu mekanisme akuntabilitas pendidikan yang dibentuk melalui suatu
Peraturan Daerah di bidang pendidikan. []